Hari ke-8 perjalanan kami ke Eropa Tengah, kami beranjak meninggalkan Budapest menuju Praha atau Prague. Lagi-lagi kami memutuskan naik kereta. Sebenarnya naik kereta merupakan salah satu cara kami untuk beristirahat, dengan cara duduk santai dan bengong menikmati pemandangan.
Pengalaman naik kereta malam yang kurang nyaman dari Munich ke Budapest, membuat kami was-was. Kereta yang akan kami naiki nanti, bagus gak ya? Kalau melihat kunonya stasiun Budapest Keleti yang dibangun tahun 1884, kok ya ragu-ragu bakal ada kereta modern mampir di situ. Continue reading “Meleleh di Perjalanan Menuju Praha”
Hungaria terkenal dengan wine-nya. Saking enaknya wine dari Hungaria, konon Inggris mengimpor wine dari Hungaria, khusus untuk konsumsi keluarga kerajaan. Meski demikian dari sisi kuantitas, jumlah produksi wine Hungaria masih kalah jauh dari negara Eropa lainnya seperti Perancis, Italia dan Spanyol. Inilah alasan kami mengambil Winery Tour di pinggiran Budapest. Tepatnya di daerah Etyek, sekitar 30km dari Budapest. Pengen tahu juga sisi lain dari Hungaria selain kota tua. Sekaligus mengantisipasi kebosanan anak-anak dengan kota tua. Continue reading “Sisi lain Budapest”
Budapest ibu kota Hungaria, merupakan kota eksotis yang sangat ingin kami kunjungi. Negara yang beretnik suku Magyar ini, sudah ada sejak abad ke-9, dan mencapai masa kejayaannya di abad 15. Melewati sejarahnya yang panjang, Hungaria luluh lantak saat Perang Dunia. Bahkan Kerajaan Kristen ini sempat takluk di bawah kekuasaan Komunis Rusia sejak Perang Dunia II. Namun seiring dengan jatuhnya kekuasaan Rusia di Eropa pada tahun 1989, Hungaria berdiri sebagai negara Republik Parlemen dan perlahan mulai membuka diri sejak tahun 1990an.
Sekarang Hungaria seperti Sleeping Beauty yang baru bangun dari tidurnya yang panjang. Di semester pertama tahun 2015, Budapest mencatat kenaikan jumlah turisnya hingga 17,8%. Bandingkan dengan Indonesia yang mencatat kenaikan sekitar 4% di periode yang sama, sudah dianggap prestasi bagus, mengingat negara tetangga malah mengalami minus growth. Continue reading “Perjuangan Memasuki Budapest”
Saat menyusun itinerary, awalnya kami tidak memasukkan Salzburg sebagai salah satu kota tujuan. Justru kami ingin ke Neuschwanstein Castle, istana yang menjadi inspirasi design Sleeping Beauty Castle di Disneyland. Tapi saat melihat peta, kota di negara Austria yang berbatasan dengan Jerman itu menarik perhatian.
Saya mengikuti diskusi dulu di Tripadvisor untuk topik, “Bila kita hanya punya waktu satu hari di Munchen, lebih baik ke Neuschwanstein Castle atau ke Salzburg”. Ternyata jawabannya 75% memilih ke Salzburg. Selain alasan itu, saya pun ingin mengimbangi jalan-jalan kami ini dengan pemandangan alam, tidak melulu kota tua.
Kami meneruskan perjalanan ke Olympic Park. Bis hop on hop off dengan tour guide si Oma sudah ganti dengan bis yang lain. Perjalanan hanya 15 menit menuju kompleks olahraga tersebut. Dalam jarak yang tidak terlalu jauh, masa kejayaan kuno Munich yang tercermin dari Istana Nymph, sudah diganti dengan kejayaan Munich masa kini yang modern. Meskipun Olympic Park dibangun tahun 1972, tapi arsitektur bangunan dan tamannya nampak modern.
Rute shuttle bus
Dalam kompleks tersebut terdapat Olympic Stadium, Olympic Tower, Sea Life Aquarium, yang dapat dicapai dengan berjalan kaki. Bisa juga nyebrang ke samping kompleks melihat BMW World dan Musium BMW yang design bangunannya mencerminkan teknologi tinggi. Suami memutuskan nanti saja berjalan-jalan di area itu. Ia lebih mementingkan mendatangi Alianz Arena. Jadi kami segera naik shuttle bus lain yang khusus mengantar kami ke markas Bayern Munchen.
Sepuluh menit naik shuttle, nampaklah bangunan Alianz Arena yang khas itu. Tidak terlihat beton atau besi pada dinding luarnya, seperti stadion bola pada umumnya. Ada lapisan semacam plastik menutupi seluruh dinding luar yang memungkinkan stadion berpendar aneka warna di malam hari. Suami dan si Sulung terlihat sangat antusias, seperti pemain bola yang sudah tidak sabar akan bertanding.
Shuttle bis berhenti tepat di depan pintu gerbang stadion. Di bawah teriknya matahari dan suhu 35oC saat itu, kami berjalan menuju stadion. Di luar gedung kelihatannya sangat sedikit turis yang datang. Setelah masuk ke pintu utama, ternyata manusia semua isinya. Dalam ruangan ini, sebagian besar pengunjung sedang antri tiket masuk, sebagian lagi makan di food court.
Tiket terdiri atas 3 jenis. Tiket museum + recorded guide seharga 12 Euro. Tiket stadion + live guide tour seharga 10 Euro. Atau kalau mau keduanya, pilih Tiket combo seharga 19 Euro. Tentunya harga tiket anak dan tiket grup beda lagi harganya. Suami ingin sekali ikut Tour ke Stadion. Sedangkan si Sulung ingin ke musiumnya. Saya dan si Bungsu tidak ingin ikut kedua tour. Buat apa bayar mahal cuma untuk liat lapangan rumput di stadion atau piala-piala bola di Musium, pikir saya. Tapi dipikir-pikir lagi daripada bengong nungguin, ya udah lah ikut aja sekalian. Setelah rapat keluarga singkat, akhirnya diputuskan kami semua ikut Tour ke Stadion.
Beres beli tiket, kami menunggu tour yang baru akan mulai 40 menit lagi dengan makan siang di foodcourt. Tidak banyak pilihan makanan di sini. Hanya ada sandwich dan sosis dengan rasa standar nyaris gak enak. Harga makanan masih normal sekitar 4 Euro, tapi harga minumnya mahal banget 2,5 Euro.
Ternyata semua orang yang makan di foodcourt adalah orang yang mau ikut Tour Stadion. Tournya memang dimulai di tempat makan ini. Masuklah sekitar 5 orang guide berbaju olahraga, membagi kerumunan orang itu dalam kelompok kecil berisi 40an orang. Setiap grup dipimpin oleh seorang tour guide, memulai tour dengan awal yang berbeda-beda.
Grup kami dipimpin oleh seorang tour guide laki-laki turunan Afro-Europian yang sangat energik dengan suara lantang terdengar oleh semua anggota. Beruntung sekali dapat guide ini. Kalau lihat grup lain ada yang guidenya sudah opa, ada juga yang guidenya wanita cantik tapi suaranya kurang keras.
Anggota grup terdiri dari berbagai Bangsa, Bahasa, umur, pokoknya beragam sekali. Keluarga kami satu-satunya yang berwajah Asia. Rute pertama adalah masuk stadion. Dijelaskan macam-macam jenis kursi di stadion berdasarkan harga tiket paling murah dan tiket seharga rumah mewah di Jakarta. Mengapa orang rela membayar tiket segitu mahal untuk nonton bola? Ia menjelaskannya dengan suatu situasi dalam pertandingan bola, dimana pemain bola yang kita jagokan tiba-tiba memasukkan goal di detik akhir pertandingan. Ia menanyakan bagaimana kami akan bereaksi. Sontak kami berteriak “Goal” dengan sangat kencang. Teriakan ini diadu berkali-kali hingga kami mendengar terikan gila paling keras yang bisa kami buat. Dengan tenang guide itu berkata,”Grup ini tidak sampai 50 orang, tapi suaranya sudah terdengar keras dan seru. Bayangkan bila ratusan ribu penonton berteriak seperti ini, dengan merasakan emosi yang sesungguhnya … Keseruan yang tidak terbayar harganya!” Wow….benar juga. Eh tapi saya sih mending uangnya buat beli rumah.
Selanjutnya kami dibawa mendekati lapangan rumput. Dijelaskan bagaimana stadion ini dirawat dengan teliti dan seksama. Betapa mahalnya merawat rumput tok, agar sesuai dengan standar internasional. Lalu kami digiring masuk ke ruang ganti para pemain bola tuan rumah Bayern Munchen, ruang ganti pemain tamu, ruang kedatangan para pemain saat turun dari bis, hingga ruang press conference.
Semua rungan diceritakan dengan detail dan seru sehingga kami bisa membayangkan bagaimana keadaan sebenarnya. Perlahan saya terbawa suasana menyenangi tour ini dan merasa sudah menjadi pencinta bola. Klimaksnya adalah saat kami dibagi menjadi 2 baris, seolah-olah kami dua team sepak bola yang akan bertanding. Kami masuk ke suatu ruangan dimana biasanya kedua team yang akan bertanding pertama kalinya saling bertemu muka. Diiringi reffrein lagu UEFA Champions League Anthem yang megah, kami benar-benar merasakan serunya suasana pertandingan yang penuh persaingan tapi sportif. Hiiih jadi merinding….
Tour diakhiri di luar stadion, dimana guide menjelaskan lapisan luar stadion yang terpuat dari panel plastik khusus. Dijelaskan bagaimana panel berpendar di malam hari, bagaimana teknologi plastik itu ditemukan, dan mahalnya biaya perawatan. Potongan plastiknya ditunjukkan dan diedarkan ke seluruh grup. Tour diakhir dengan kesan yang mendalam dan kami segera bubar. Kami menyempatkan mampir ke toko souvenir Bayern Munchen dan membeli sesuatu untuk kenang-kenangan.
Shuttle bus membawa kami kembali ke Olympic Park. Kami memutuskan tidak akan berjalan-jalan di arena olahraga lagi. Kami memutuskan untuk ke Musium BMW, yang gedungnya nampak keren dan hi-tech. Jalan dari bus stop ke musium sebenarnya tidak terlalu jauh. Tapi heatwave yang sedang melanda benua Eropa cukup ampuh membuat kami kepayahan. Kami merasa semakin “lemas” saat melihat harus beli tiket masuk lagi. Harga tiket perorangan 10 Euro. Kami membeli tiket untuk keluarga 24 Euro, untuk 2 dewasa dan 3 anak dibawah 18 thn. Terus terang pengeluaran membeli tiket ini unbudgeted hehehe…mikirnya gratisan melulu sih.
Musium BMW berisi replika berbagai produk BMW mulai dari motor, mesin pesawat, mobil, hingga yacht berikut sejarahnya. Penjelasan ditulis dalam 2 bahasa, Inggris dan Jerman. Entah karena capek atau memang gak terlalu minat ke museum ini, saya tidak ingin berlama-lama di sini. Sebaliknya, anak-anak sih seneng-seneng aja. Malah masih mau lanjut berrjalan ke gedung sebelah menuju BMW World. Tempat ini berisi mobil BMW keluaran terbaru. Ada juga Mini Cooper dipamerkan disitu.
Kaki saya sudah cenut-cenut rasanya saat menuju bus. Ditambah dengan panasnya udara saat itu, membuat saya dehidrasi dan tidak lagi terlalu menikmati tour selanjutnya di dalam kota. Kami menikmati saja dari jendela bis, sisa rute hari itu. Sambil mendengarkan penjelas tour guide.
Melewati Schwabing dan English Garden, terlihat banyak sekali orang Jerman yang berjemur dengan pakaian renang di pinggir sungai yang mengering, gak ada indah-indahnya. Kalau kami si orang tropis ini kepayahan dengan teriknya matahari, mereka malah bersukacita menjemur diri menikmati sinar matahari yang berlimpah. Pantesan mereka melotot kalau ke Bali. Pemandangan sungai yang mengering dibandingkan dengan pantai-pantai di Indonesia nampak jauuuuh banget keindahannya. Bagai langit dan bumi.
Kami tidak mampir di Pinakotheken, karena sudah lelah untuk masuk musium lagi. Kami juga melewati saja Odeonsplatz dan Max-Joseph-Platz. Terus terang saya tidak bisa membedakan ketiga tempat itu karena bentuknya mirip-mirip. Kami memutuskan berhenti di Marien Platz untuk mencari makan malam.
Sebenarnya masih terlalu sore untuk makan malam. Tapi kami sudah berencana makan makanan khas Munich yaitu Weißwurst, sosis putih yang disajikan dengan mustard manis dan pretzel. Salah satu tempat yang direkomendasikan oleh Tripadvisor adalah Weisses Brauhause. Lokasinya dekat dengan bus stop bis HOHO, persis di pojokan jalan. Depan restaurant ada meja kursi di bawah payung besar. Kami lebih memilih masuk ke dalam restaurant, supaya lebih adem dan agak kosong. Biar bule-bule yang nyari matahari aja yang duduk di luar.
Seorang pelayan cantik berbadan tinggi besar menyambut kami dengan ramah. Betapa kecewanya kami saat hendak memesan Weißwurst, makanan itu hanya disajikan untuk sarapan. Setelah lonceng gereja berdentang 12 kali pada siang hari, maka sosis itu tidak dihidangkan lagi. Seperti Cinderela kesiangan, kami merasa bodoh karena tidak browsing dulu mengenai hal ini. Si mbak pelayan dengan ramahnya menawarkan makanan lain yang katanya masih khas Munich. Kami setuju dengan sarannya, jadi kami memesan 1 pork knuckle dan 1 sosis plater. Kami minta piring kecil untuk sharing makanan, karena saat ini belum jam makan malam, masih belum ingin makan banyak. Tidak lupa kami pesan juga bir dingin non alcohol.
Saat pesanan dihidangkan, ternyata porsinya besar sekali. Untung kami hanya memesan 2 porsi. Porsi itu lebih dari cukup sebagai porsi makan malam kami berempat. Sampai begah kami menghabiskannya. Bagaimana dengan rasa makanannya? Enyak sekali. Pork knuclenya gurih dan kulitnya garing. Mashed potatonya lembut dan kenyal, mungkin dicampur dengan galantine. Sosis platternya ada juga sosis yang warnanya putih. Tapi apakah itu sosis yang sama dengan sosis ala Munich? Gak tau juga. Yang jelas semua sosis punya rasa yang khas dan enak.
Satu porsi makanan itu harganya sekitar 12 Euro. Birnya 3 Euro kalau tidak salah. Satu gelas juga cukup untuk berdua, karena gelasnya tinggi dan besar. Si mbak pelayan yang lancar berbahasa Inggris itu, kami panggil kembali untuk minta bon. Dia memegang satu alat seperti EDC yang membantunya memesan makanan dan memprint bon langsung. Kami membayar dengan menyisihkan tips untuk si Mbak. Tips di Jerman is a must. Jumlahnya gede juga sekitar 10%. Tagihan kami saat itu 36,5 Euro. Saya kasi 1 lembar 50 Euro dan minta kembalian 10 Euro. Jadi si mbak tahu, tipsnya 3,5 Euro.
Kami kembali lagi ke hotel masih dengan bus HOHO. Sempat mampir juga ke salah satu supermarket yang lumayan besar namanya “Aldi”. Kami membeli dalam jumlah banyak Knoppers untuk oleh-oleh. Knoppers sejenis wafer coklat kacang yang rasanya enak tapi harganya murah dan sangat enteng. Cocok buat dijadikan oleh-oleh makanan khas jerman buat kerabat di Jakarta.
Dengan bus hop on hop off, rute kami diawali menuju ke kekunoan Munich. Perjalanan ke Nymphenburg Palace atau Istana Nymph memakan waktu 20an menit. Lokasinya memang agak di pinggir kota. Kebetulan kami dapat live guide tour yang sudah oma dan napasnya agak tersengal-sengal. Jadi kasian dengerin si Oma menceritakan tentang sejarah Munich. Saya justru lega setelah dia berhenti cerita, karena dada saya rasanya jadi ikutan sesak napas.
Saat bis memasuki halaman Istana Nymph, hampir seluruh penumpang bus berdecak kagum melihat cantiknya taman luas yang tertata rapi. Rumput hijau terhampar seperti karpet. Bunga cantik warna-warni memagari jalan kerikil. Ditengah-tengah taman ada kolam besar dengan beberapa ekor angsa yang berenang anggun.
Istana Nymph mulai dibangun tahun 1664, untuk menyambut kelahiran seorang anak yang sudah dinantikan selama 10 tahun oleh pasangan bangsawan Bavarian Elector, Ferdinand Maria dan istrinya Henriette Adelaide of Savoy. Semula Sang Bangsawan memanggil arsitek dari Italia, interior designer dan Lansekap taman dari Perancis, untuk membangun istana ini. Namun dengan bergantinya kepemilikan, sentuhan design Inggris, Spanyol dan perabotan dari China pun meramaikan keseluruhan design istana dan tamannya. Tercatat King Ludwig II of Bavarian lahir di istana ini. Beberapa interior design yang fenomenal pada jamannya, misalnya Great Hall dan Hall of Mirrors (Amalienburg), dapat dilihat dalam bentuk aslinya dan menjadi salah satu warisan budaya terindah Jerman.
Halaman depan yang cantikHalaman belakang istana Nymph yang luas
Melihat cantiknya istana ini dari luar dan romantisnya sejarah di baliknya, saya dan si Bungsu ingin sekali masuk ke dalam istana. Untuk masuk dikenakan biaya sebesar 11,5 Euro/orang. Gantian suami berpikir, melihat mahalnya tiket dan pendeknya waktu kami, maka kunjungan ke dalam istana ditiadakan. Jiwa ke-princess-an saya dan si bungsu langsung kecewa. Kami berdua harus puas hanya mengintip sebagian kecil interior ruangan dari pintu kaca balkon.
Dari ruangan yang kami intip nampak interior ruangan yang penuh ukiran bersepuh emas tampak megah memanggil-manggil. Memang para pria di keluarga kami kurang romantis. Jadilah saya dan si Bungsu bergegas meninggalkan dunia dongeng Schloss Nymphenburg menuju Kekinian Munich.
Hari keempat di Jerman kami memutuskan untuk ikut tour lokal dengan bus Hop On Hop Off. Dengan tour ini, bisa dipastikan seluruh tourist spot di Munich bisa dilihat atau minimal dilewati. Alternatif keliling kota dengan bus HOHO ini sangat membantu, bila kita sudah capek melototin peta transportasi publik untuk jalan-jalan. Kita bisa menentukan , apakah di satu spot kita turun dari bis untuk mengeksplor lebih lanjut, atau sekedar lihat saja dari atas bis. Tidak hanya melihat, kita pun dapat mengetahui sejarah kota dengan bantuan live tour guide (orang yang berbicara) atau recorded tour guide (rekaman yang didengarkan melalui headset yang disediakan). Tentunya dalam bahasa Inggris ya.
Sepanjang penglihatan saya di Munich, ada 3 warna city tour model HOHO di kota ini. Yang warna merah dan kuning, berasal dari satu perusahaan yaitu City Sightseeing. Satu lagi dominan warna biru atau campuran merah-biru milik Gray Line. Apa pun warna bisnya, semua bis jenisnya double decker. Bagian bawahnya umumnya ber-AC, dan bagian atasnya terbuka. Continue reading “Munich (1)”
Hari ketiga di Jerman, kami bangun kesiangan. Perjalanan kemarin ternyata menguras energi kami dan anak-anak. Bagun jam 8 waktu setempat, kami hanya sarapan mie instant cup yang dibawa dari rumah. Barbeque dinner semalam rasanya masih mengenyangkan, tidak perlu sarapan berat.
Perjalanan dari Dusseldorf ke Munich
Hari ini untuk pertama kalinya kami akan naik kereta antar kota antar state yang lumayan lama. Agar nanti gak grubak-grubuk, suami menyarankan kami survey dulu. Kebetulan di samping hotel kami ada Customer Servicenya Bahn. Tanpa merasa perlu mandi dulu, saya mampir ke counter ini yang dijagai oleh 3 orang staf Bahn. Seorang ibu berambut coklat berbadan subur, menyapa saya dengan ramah. Continue reading “Menuju Munich (Munchen)”
Sudah tidak sabar rasanya berkunjung ke Cologne di hari kedua. Reuni dengan satu keluarga Jerman dan beberapa teman si Bungsu, dijadwalkan di depan Kathedral Cologne atau Koln Dom yang terkenal itu. Selain Cologne kami juga berencana mengunjungi Solingen. Itinerary hari ini sangat fleksibel. Sewaktu-waktu dapat berubah tergantung kemana kenalan kami akan mengajak. Continue reading “Cologne, dan kota kecil sekitarnya”
Akhirnya jadi juga kami sekeluarga liburan kembali di Eropa. Bedanya kali ini kami pergi saat musim panas, dan negara tujuannya berbeda dari liburan sebelumnya. Kami mendarat di Dusseldorf, ibu kota propinsi (state) North Rhine-Westphalia. Kota ini dikenal sebagai pusat bisnis dan keuangan international, dan sering mengadakan pameran dagang. Continue reading “Sesaat saja di Dusseldorf”