Saat menyusun itinerary, awalnya kami tidak memasukkan Salzburg sebagai salah satu kota tujuan. Justru kami ingin ke Neuschwanstein Castle, istana yang menjadi inspirasi design Sleeping Beauty Castle di Disneyland. Tapi saat melihat peta, kota di negara Austria yang berbatasan dengan Jerman itu menarik perhatian.
Saya mengikuti diskusi dulu di Tripadvisor untuk topik, “Bila kita hanya punya waktu satu hari di Munchen, lebih baik ke Neuschwanstein Castle atau ke Salzburg”. Ternyata jawabannya 75% memilih ke Salzburg. Selain alasan itu, saya pun ingin mengimbangi jalan-jalan kami ini dengan pemandangan alam, tidak melulu kota tua.
Dari Munich menuju Salzburg bisa ditempuh sekitar 2 jam dengan kereta maupun bus. Kami memilih ikut tour lokal Grayline lagi. Tiket tour saya pesan online 1 bulan sebelumnya. Saya khawatir tidak dapat tempat bila pesan pada hari H. Liburan summer begini, pasti bakalan penuh.

Perkiraan saya benar. Semua kursi di bis double decker yang atas bawah ber-AC, terisi penuh. Mungkin hanya tersisa 2-3 kursi. Ada turis Amerika yang sempat ngomel karena tidak bisa menemukan 2 kursi kosong yang bersisian. “Are you sure this tour not over booked?” teriaknya arogan ke tour guide. Si Guide dengan tenang mencarikan kursi kosong, tapi jaraknya terpencar jauh depan dan belakang. Salah sendiri datang siang, berisik pulak.
Tour ini lagi-lagi dapat guide seorang Oma. Bahasa Inggris si Oma ini mempunyai aksen yang aneh, yaitu menambahkan huruf e di akhir semua kata. Saya lebih lega saat si Oma ini berhenti bicara. Saya jadi lebih tenang melihat pemandangan di sepanjang jalan. Apalagi saat melewati area pedesaan. Daerah di sekitar pegunungan Alpen ini memang alamnya sangat indah. Kecantikan alamnya saat summer punya pesona sendiri dibanding saat winter.
Tidak bosan melihat hamparan tanaman hijau sepanjang jalan, dengan rumah-rumah petani berhalaman taman bunga warna-warni. Ada beberapa danau kecil dan sungai yang kami lewati. Danau paling besar adalah Danau Chiemsee, sering disebut Laut Bavaria dan masih masuk wilayah Jerman.
Area sekitar Danau Chiemsee disebut Chiemgau yang merupakan pusat wisata. Danau yang biru mengundang banyak orang untuk berenang atau sekedar mengapung dengan pelampung kasur, atau berlayar dengan yacht kecil dengan layar putih terkembang. Sekitar danau dihiasi oleh banyak pondok peristirahatan, diselingi dengan gereja kecil yang cantik lengkap dengan menara loncengnya. Seperti melihat dunia dongeng yang dihuni peri dengan latar belakang alam yang indah.
Akhirnya tibalah kami di kota Salzburg. Kota ini terjemahan harafiahnya adalah “benteng garam”. Konon di abad ke-8, untuk memasuki kota ini melalui Salzach River, uang tolnya adalah sekantung garam. Bahkan garam menjadi alat pembayaran yang sah di kota ini. Garam ini berasal dari tambang di pegunungan yang sulit didapat. Asal kata “salary” berasal dari kata salt, ditemukan di Salzburg, demikian penjelsan si Oma guide. Aneh juga, perasaan salary adalah Bahasa Inggris, sedangkan Austria berbahasa Jerman. Terserah deh, boleh percaya, boleh tidak…
Salzburg adalah kota keempat terbesar di Austria setelah Vienna, Graz dan Linz. Si Oma memberikan 2 pilihan kepada para penumpang sebelum turun dari bus. Pertama, mengikuti dia ke dalam kota dan tentunya mendapat info sepanjang perjalanan tentang kota. Pilihan kedua, bebas mengelilingi kota sendiri berbekal peta yang dia bagikan. Sudah ditentukan sekitar 3 jam kemudian kami harus berkumpul kembali di bus stop. Kalau tidak muncul di jam yang sudah ditentukan, maaf saja terpaksa ditinggal dan silakan cari sendiri kereta ke Munchen. Sadis…
Setengah rombongan yang umumnya pasangan muda dengan backpacker style, langsung memisahkan diri untuk jalan sendiri. Setengahnya lagi yang merupakan pasangan berumur dan keluarga dengan anak-anak, memutuskan ikut dengan si Oma Guide.Karena kami belum eksplor banyak kota ini di web, maka kami memutuskan mengikuti si Oma. Lagipula si Oma tadi sempat menjelaskan jangan sampai nyasar. Jalan di Salzburg dibuat berkelok-kelok dan berputar seperti labirin dan bentuk lorongnya mirip-mirip, sebagai bentuk sistem pertahanan alami kota dari musuh. Diharapkan musuh menjadi bingung kalau masuk ke kota. Sistem ini ternyata juga sukses membuat turis nyasar di tengah kota.
Penjelasan si Oma sepanjang perjalanan, kurang jelas terdengar. Selain itu, saya juga terganggu dengan seorang turis dari Singapore yang memonopoli pertanyaan dan selalu memaksa ada di samping kanan si Oma. Bikin bete jadinya. Saya hanya sempat mendengar jelas bahwa bahwa rute perjalanan berawal di Mirabell Garden tempat shooting film The Sound of Music (TSoM), dan diakhiri di istana di atas bukit, Festung Hohensalzburg. Diselingi juga kunjungan ke double-you-see alias WC, karena ada serombongan keluarga berwajah hispanik yang sudah kebelet pipis.
Di tengah teriknya matahari siang itu, pertama-tama si Oma menggiring kami ke taman kuno Mirabell Garden yang dibuat sejak tahun 1606. Melihat kecantikan taman Mirabell, tidak heran kalau taman ini dijadikan tempat shooting TSoM. Berjubelnya turis agak mengurangi kecantikan taman. Belum lagi perihnya sengatan matahari di kulit dan keringnya tenggorakan agak mengganggu saya saat itu. Tapi semuanya segera terlupakan bila mengamati betapa terawatnya taman kuno itu.
When the sun bites, when my throat dry, When I’m feeling sad…I simply remember my favorite things, and then I don’t feel soooo bad. #me-singing
Selanjutnya kami digiring menyusuri kota tua Salzburg. Bentuk kota ini mirip dengan kota tua umumnya di Eropa. Nampak jalan terbuat dari susunan batu (coble stone), jembatan kuno dihiasi patung-patung dan bangunan-bangunan bergaya barok. Hingga sampai lah kami di suatu persimpangan,dimana si Oma akan ke kiri menuju ke Hohensalzburg dan di sebelah kanan kami ada museum Mozart. Dari istana Hohensalzburg yang terletak di atas bukit cadas, katanya akan tersaji pemandangan indah seluruh kota Salzburg. Tapi melihat istana ini kelihatannya saja dekat di mata tapi kenyataannya jauh di dengkul, maka kami memisahkan diri dari rombongan. Kami belok ke kanan untuk mengunjungi museum Mozart.
Musium Mozart sebenarnya ada dua. Gedung kuning gonjreng yang kami lihat saat itu adalah musium tempat kelahiran dan masa kecil Mozart (Mozarts Geburtshaus). Kira-kira 400m dari gedung kuning, menyebrangi sungai, ada museum tempat tinggal Mozart saat dewasa (Mozarts Wohnhaus) yang bangunannya lebih mentereng. Kami memutuskan untuk membeli tiket ke Musium Kelahiran Mozart saja.Harga satu tiket adalah 10 Euro untuk satu musium atau 17 Euro untuk harga paket dua musium. Tapi ada tiket untuk keluarga max 5 orang seharga 21 Euro untuk kunjungan ke satu musium saja.
Di dalam musium yang kelihatan kuno dan suram, diperlihatkan bagian ruangan-ruangan seperti dapur, tempat tidur, ruang tamu, hingga tempat Mozart berlatih musik lengkap dengan piano kecil kuno yang disebut clavier. Terbayang dengan salah satu clavier itu, Mozart menciptakan lagunya yang pertama saat umur 5 tahun….ckckck…..
Selain itu ada pula lukisan (mungkin replikanya) Mozart kecil dan foto anggota keluarganya. Ada juga info berupa text di dinding dalam Bahasa Jerman dan Inggris yang menjelaskan silsilah keluarganya, karirnya di musik hingga akhir hayatnya yang meninggal di usia yang terbilang masih muda, 35 tahun. Dalam kotak-kotak kaca disimpan beberapa pertitur kuno lagu ciptaannya yang dicoret-coret dan ditandatangi, bahkan ada juga potongan rambutnya. Sayang semua itu tidak boleh difoto. Saya hanya bisa melihat sambil menyenandungkan dalam hati salah satu lagunya, Symphony No.40 in G Minor.
Saya memang hobi ke musium, jadi saya menikmai satu-persatu barang yang dipajang, dan senang membaca info tentang Mozart. Yang saya heran adalah si Sulung. Biasanya dia sama seperti ayahnya, tidak suka ke musium. Tapi kali ini ia mengamati benar partitur-partitur yang dipajang berusaha memahami lagunya. Saya harus colek dia untuk mengingatkan beranjak ke ruangan lain. Waktu kami memang terbatas, karena kami harus makan siang dan segera ke bus stop sesuai waktu yang ditentukan.
Kami lanjut makan siang di restaurant seafood yang berada di samping musium. Tidak sempat lagi mencari-cari restaurant lain karena waktu yang terbatas. Ini adalah restaurant termahal yang kami kunjungi selama liburan ke Eropa tengah. Anehnya, kami bertemu dengan banyak turis Indonesia di sini. Mereka tergabung dengan travel agent dari Jakarta. Saat kami berhemat dengan memesan makanan standar fish and chips, mereka umumnya memesan lobster. Wow …
Saat kami tiba di bus stop, sebagian besar peserta tour sudah berkumpul. Tak lama busnya datang. Bus hanya menunggu 10 menit dan segera berangkat walaupun ada sepasang turis yang belum hadir. Benar-benar ditinggal rupanya. Perjalanan dilanjutkan ke danau Wolfgangsee.
Danau Wolfgangsee tak kalah indahnya dengan Chiemsee. Bus berhenti di salah satu dok kapal yang akan membawa kami berlayar di danau. Kami masih ada waktu 20 menit sebelum kapal datang untuk melihat toko-toko kecil antik. Saya tertarik dengan salah satu toko yang menjual garam hasil tambang dengan aneka rasa tambahan. Ada rasa paprika, thyme, ginger dan lain-lain. Harganya lumayan mahal. Untuk satu botol kecil bisa 25 Euro. Saya masih asik melihat-lihat dan mendengarkan penjelasan pemilik toko, saat suami sudah memanggil-manggil untuk kembali ke dok kapal. Ah ..sayang sekali saya tidak sempat beli. Dan saya semakin kesal karena saat kami tiba di dok, kapalnya belum datang.
Seluruh penumpang bis terbagi atas 2 kapal. Semua berebut untuk duduk di buritan yang terbuka. Tapi saya memilih duduk di tengah, bagian yang beratap. Kulit saya rasanya sudah perih tersengat matahari. Toh di tengah kapal masih bisa melihat pemandangan dan merasakan semilirnya angin. Rasanya damai sekali melihat birunya air danau, hijaunya bukit-bukit, dan cantiknya bangunanan sekitarnya. Saya pun tak sadar ikut menyanyikan The Sound of Music yang diputar sang nahkoda kapal.
The hills are alive with the sound of music…With songs they have sung for a thousand years…The hills fill my heart with the sound of music…My heart wants to sing every song it hears…
Tak terasa 30 menit kami berlayar dan tiba di sisi yang berbeda dari keberangkatan tadi. Saya menjejak lagi ke kenyataan betapa panasnya hari itu, saat kami harus berjalan sekitar 500m ke tempat parkiran bus.
Selesai sudah perjalanan tour kami ke Salzburg. Kami kembali ke Munchen sambil membayangkan terus pemandangan alam cantik yang menginspirasi karya musik indah yang melegenda ke seluruh dunia.
Nggak salah sih mbak, kata ‘salary’ yang merupakan bahasa Inggris itu diadaptasi dari kata ‘sal’ (bahasa Latin) yang artinya garam, kemudian dimodifikasi di bahasa Perancis dan Roman, sampai akhirnya di bahasa Inggris modern berubah menjadi salary. Jadi dulunya adalah “penghasilan yang didapat untuk membeli garam.” #justinfo
LikeLike
ooh gitu, sy tidak mempelajari etimologi sih 🙂 Thanks utk penjelasannya. Saya jadi membaca lagi postingan ini karena jadi aktual dgn keadaan Indonesia yg impor garam. Ternyata asal ditemukannya garam di eropa bukan dari laut tapi dari tambang garam di Austria sehingga menjadi asal kata “Salary”. Tidak heran Austria negara pegunungan yg tidak punya garis pantai menjadi salah satu eksportir garam terbesar 🙂
LikeLike
Iya, sama sama. Saya juga baru tau kalo kata Salzburg itu jd berawal dari Sal (garam). Kita jd sama sama tau hal baru 🙂
LikeLike