Sudah tidak sabar rasanya berkunjung ke Cologne di hari kedua. Reuni dengan satu keluarga Jerman dan beberapa teman si Bungsu, dijadwalkan di depan Kathedral Cologne atau Koln Dom yang terkenal itu. Selain Cologne kami juga berencana mengunjungi Solingen. Itinerary hari ini sangat fleksibel. Sewaktu-waktu dapat berubah tergantung kemana kenalan kami akan mengajak.
Karena akan mengunjungi banyak kota tapi masih dalam 1 region (state) North Rhine Westphalia (NRW), kami membeli NRW Dayticket untuk grup. Jumlah grup terkecil adalah untuk 5 orang, masih lebih murah daripada beli satuan untuk 4 orang. Tiket ini berlaku tidak hanya untuk kereta, tapi juga untuk bis, trem dan kereta gantung di Wuperthal. Harganya 42 Euro. Belinya di vending machine yang banyak bertaburan di stasiun Dusseldorf.
Perjalanan Dusseldorf ke Cologne atau Koln memakan waktu sekitar 30 menit. Saat tiba di Koln, nampak kota ini jauh lebih ramai dibanding Dusseldorf. Mungkin karena Koln lebih terkenal sebagai salah satu kota tujuan wisata di Jerman. Lucunya walaupun menjadi kota terbesar keempat di Jerman sesudah Berlin, Hamburg, dan Munich, tapi Koln bukanlah ibukota dari State North Rhine Westphalia. Justru posisi penting itu diambil oleh Dusseldorf. Oleh karena itu sudah menjadi rahasia umum, Kolners dan Dussers selalu bersaing. Mulai dari kota mana yang paling fashionable, kota yang festivalnya paling banyak, kota mana yang bangunannya paling keren, dan lain-lain. Pada kenyataannya Koln terkenal karena festivalnya dan Dusseldorf terkenal sebagai tempat belanja fashionnya.
Seputar Koln
Ada beberapa merk produk terkenal berasal dari Koln. Yang terkenal hampir ke seluruh dunia adalah Eau De Cologne 4711, terjemahan bebasnya “air dari Cologne” 4711. Jadi ingat tissue basah varian merek ini disebut “Kolonyet” banyak dijual oleh pedagang asongan di bis di tahun 80an. Dan baunya … hhmmm ra enak babar blas, kesannya norce gitu…. (maap ya Kolners)
Selain itu yang terkenal adalah permen jelly kenyal merk Haribo. Salah satu pabrik terbesarnya ada di Koln. Anak-anak senang sekali makan Haribo asli buatan Jerman. Texturenya lebih empuk daripada yang dijual di Indonesia. Seperti makan permen karet yang lembut, tapi bisa dikunyah habis dan ditelan. Khusus untuk pasar Indonesia, memang salah satu ingredient-nya telah diganti dengan yang halal. Jadi rasanya agak alot.
Meskipun 2 merk itu sudah mendunia, tapi kami tidak ada waktu untuk berkunjung ke sana. Kami hanya menyempatkan waktu ke destinasi wisata utama di Koln yaitu Kathedral Cologne atau Koln Dom. Letaknya ada di pusat kota, dekat dengan stasiun Cologne Hbf. Karena begitu strategisnya gereja ini, orang Koln sering janjian untuk ketemuan di gereja ini. Begitu juga dengan kami.
Reuni kami di depan Koln Dom sangat menyenangkan. Keluarga Jerman yang pernah menjadi host family-nya si Bungsu ini amat sangat ramah. Dengan tersenyum lebar kami saling berpelukan melepas kangen. Obrolan dilanjutkan sambil masuk ke dalam Kathedral.
Gereja ini termasuk tempat di Jerman yang paling banyak dikunjungi turis. Selain keindahan design gothiknya, juga karena adanya kerangka 3 orang Majus (three wise men) saat kelahiran Yesus, disemayamkan di situ. Dahi kami agak berkernyit juga sih membaca cerita itu di brosur. Bagaimana memastikan 3 orang majus itu orang yang sama dengan yang ada di Alkitab? Wong namanya di Alkitab saja tidak disebut …
Cologne Kathedral termasuk cagar budaya yang dilindungi oleh UNESCO. Tidak heran. Karena detil bangunannya rumit sekali. Keseluruhan bangunan berbentuk salib besar. Waktu pembangunannya pun memakan waktu bertahun-tahun. Mulai 1248 hingga 1473, berhenti sejenak untuk kemudian dirampungkan di abad 19. Ngebayangin orang jaman dulu yang perkakasnya sangat terbatas, bisa membuat bangunan segini cantik, membuat saya tak henti-hentinya berdecak kagum.
Turis cukup banyak memadati gereja, karena tidak dipungut biaya untuk masuk ke dalam gereja. Tapi ada juga pilihan Guided Tour pada jam 10.30 dan 14.30. Biayanya 8 Euro untuk dewasa dan 6 Euro untuk anak dan pelajar. Biaya tersebut termasuk masuk ke Multivision dalam Cathedral. Mungkin semacam informasi dalam bentuk film.
Saking besarnya gereja itu, maka kalau kita foto di halaman gereja, kurang bisa menangkap keseluruhan bangunan. Ada satu spot bagus dimana kita bisa foto dengan gereja tersebut berdiri megah sebagai latar belakang. Salah seorang teman si Bungsu yang asli Kolners, memandu jalan kami melewati samping Roman Museum, menyusuri jembatan yang banyak gembok cinta. Oh ya hati-hati jalan di jembatan love lock. Banyak sekali sepeda ngebut melewati turis yang sedang asyik berfoto atau sedang jalan santai melihat pemandangan di atas sungai.
Tiba di best picture spot-nya kota Koln, nampaklah katedral dengan 2 towernya menjulang tinggi menjadi masterpiece-nya dan jembatan love lock melengkung indah di sebelah kanannya. Perjalanan ini tidak terlalu jauh sebenarnya, tapi memakan waktu cukup lama, karena anak-anak mencari gembok persahabatan yang mereka pasang di jembatan love lock, 2 tahun yang lalu.
Panasnya udara saat ini, membuat si Bungsu dari keluarga Jerman itu merengek minta es krim. Maka setelah berfoto, kami lanjut jalan kaki ke warung Gelato milik orang Itali asli. Sebenarnya saat itu perut kami sudah keroncongan minta diisi makan siang. Karena gak enak menolak, maka makan siang terpaksa diganti es krim. Mungkin karena hati senang, perut yang kosong tidak berontak diisi yang dingin-dingin. Amaaan.
Akhirnya tibalah waktu berpisah. Selesai makan gelato, teman-teman si Bungsu pamit pulang ke rumah masing-masing, dimkota-kota sekitar Cologne. Ada yang ke Leverkusen, Bonn, dan ada juga yang asli Koln. Sedangkan kami masih melanjutkan reuni dengan keluarga Jerman dan mengarah ke rumah mereka di Solingen.
Berbekal tiket kereta terusan yang dibeli di Dusseldorf, kami tidak perlu lagi membeli tiket kereta. Bersama-sama kami naik kereta menuju Solingen. Sampai stasiun Solingen kami diajak berjalan kaki melewati area perumahan yang sepi, jarang ketemu orang. Kami berjalan menuju mobil mereka yang diparkir di pinggir jalan. Dengan mobil besar yang muat diisi 9 orang, kami menuju ke rumahnya. Menurut si Bapak Jerman, rute sehari-harinya dia berangkat kerja selalu begitu. Bawa mobil hanya sampai ke stasiun Solingen, parkir mobil sedapetnya di pinggir jalan, lalu dia lanjut naik kereta ke tempat kerja.
Solingen terkenal di dunia dengan produk benda tajamnya seperti aneka pisau dapur (cutleries), gunting, hingga silet. Nama “Solingen” menjadi jaminan mutu untuk produk asal kota tersebut. Jangan lupa menyempatkan beli 1 mini set peralatan mani-pedi di sini. Meski agak mahal, tapi itulah gunting kuku kecil yang sangat tajam yang pernah saya miliki.
Setelah perjalanan naik turun bukit, melewati perumahan gaya petani Eropa yang cantik dengan pot bunga panjang di halamannya, juga melewati ladang gandum dan hutan kecil, tibalah kami di rumah mereka yang asri. Rumahnya terdiri dari 4 lantai. Halaman depan, selevel dengan lantai 2 yang terhubung dengan ruang keluarga dan kamar tidur anak-anak. Mengikuti kontur tanah, lantai 1-nya selevel dengan halaman belakang, yang berisi ruang makan, dapur dan kamar tidur utama. Sedangkan lantai 3 dan 4 disewakan ke orang lain. Depan rumah, sejauh mata memandang adalah ladang gandum dan jagung. Rasanya betah berlama-lama di rumah ini.
Wuppertal yang unik
Tuan rumah punya rencana lain. Kami cuma diijinkan mampir ke toilet sebentar. Setelah itu kami diajak ke Wuppertal. Sang istri didrop di rumah untuk menyiapkan barbeque dinner, sementara kami diajak menikmati kereta gantung tua di Wuppertal atau Schwebebahn dan mereka terjemahkan bebas ke Bahasa Inggris dengan “The Flying Bus”.
Kereta gantung Wuppertal dibangun tahun 1824. Dalam sejarahnya yang panjang, “hanya” tercatat 7 kali kecelakan yang umumnya kecelakaan kecil. Termasuk dalam kecelakaan ini adalah jatuhnya anak gajah sirkus ke sungai Wupper. Lagian aneh-aneh aja ngangkut anak gajah pake kereta gantung…. Untung gajahnya selamat. Kecelakaan paling parah terjadi tahun 1999, yang menyebabkan 5 nyawa manusia melayang. Rendahnya tingkat kecelakaan kereta ini membuat warga Wuppertal mengklaim kereta ini sebagai trasportasi teraman di dunia. Semua sejarah kereta ini diceritakan oleh si Tuan Rumah sepanjang perjalanan mengelilingi kota. Tak heran dia fasih dan bangga dengan kota ini, karena dia lahir dan dibesarkan di Wuppertal.
Kereta gantung anti macet ini merupakan sarana transportasi utama bagi orang Wuppertal. Sudah seperti angkot, penduduk kota memanfaatkan transportasi ini untuk ke sekolah, ke kantor hingga ke pasar. Mereka sudah biasa dengan kereta yang berayun-ayun ke kiri dan kanan saat bergerak dan berhenti di stasiun. Kami sempat merasa mabok karena terayun-ayun. Kami kira, hanya kami yang mabok, ternyata si Tengah anak keluarga Jerman ini juga mabok. Tapi dia sudah mengantisipasinya dengan minum obat semacam antimo saat mampir di rumah. Meski jadi agak mengantuk, dia merasa aman karena tidak muntah. Pantesan selama perjalanan di kereta gantung dia mendadak diam aja.
Masih keliyengan setelah turun dari kereta gantung, kami dibawa ke mall terbesar di Wuppertal. Itu kata mereka. Tapi mall terbesar di Wuppertal ternyata hanyalah seukuran mall terkecil di Bekasi. Barang-barangnya juga gak up to date. Entah mengapa kami dibawa ke mall ini. Saya malah tertarik dengan pedagang di luar mall. Salah satunya adalah pedagang buah. Aaaaah segar dan ranumnya buah yang dijual. Saya tidak dapat menahan diri membeli setengah Kg Cherry yang harganya cuma 2,99 Euro. Bayangkan kalau buah ini sampai di Jakarta, 100 gramnya harganya 40 ribu.
Solingen yang tak terlupakan
Melihat kami yang tidak terlalu minat dengan mall ini, sang Ayah segera membawa kami kembali ke rumah. Nah justru di rumah mereka, kami rela berlama-lama. Saya senang membantu si Ibu menyiapkan salad. Suami membantu si Ayah menyiapkan grill. Anak-anak berlima ngariung di kamar si Tengah anak Jerman.
Kami makan di pondok teras belakang yang berdinding kaca, dengan satu meja panjang diapit kursi panjang di kanan kiri. Sungguh suatu pengalaman interaksi dengan penduduk lokal yang tak terlupakan. Makanan yang disajikan, sepertinya adalah masakan terenak selama liburan kami. Padahal menunya simpel saja. Salad kentang dengan mayo, salad sayuran dengan olive oil, jagung, zukini dan tomat yang dipanggang di atas grill, garlic bread renyah dan tentunya protein yang terdiri dari, ayam, lamb, sosis sapi yang semuanya dipanggang. Belum lagi aneka cocolannya mulai dari saus tomat, cream cheese, butter dan yoghurt. Minumannya apalagi kalau bukan bir. Khusus untuk anak-anak, mereka menyediakan bir zero alcohol. Mengingat kembali masakan ini, saya jadi ngiler lagi…..
Tidak terasa, hari mulai gelap. Keasyikan ngobrol dan tertawa, tau-tau sudah jam 9 lebih. Perpisahan kali ini terasa lebih sedih, karena kami sudah semakin akrab. Si Ayah bersiap-siap mengantarkan kami ke stasiun. Tapi karena kelamaan pamit, kereta di stasiun utama Solingen tidak bakal terkejar menurut si Ayah. Jadi kami akan didrop di stasiun kecil.
Tak lama kami sudah terguncang-guncang di mobil yang ngebut naik turun bukit yang mulai gelap. Setibanya di stasiun kecil, kami setengah berlari menuju peron, karena menurut si Ayah sambil melihat ke jadwal kereta di gadgetnya, 3 menit lagi keretanya lewat. Kami percaya saja, karena punctualnya orang Jerman sudah terkenal.
Masih terengah-engah tiba di peron, mumpung kereta belum datang, kami foto bareng lagi. Baru foto 1 jepretan, datanglah keretanya, tepat waktu. Lucunya, kereta tidak berhenti di peron tempat kami berdiri, tapi berhenti 20 meter sebelumnya. Kami jadi berlari-lari kerepotan menuju gerbong yang terbuka. Saat melewati lokomotif, nongol kepala sang masinis di jendela. Ia berseru sesuatu dalam Bahasa Jerman sambal tertawa. Astaga, ternyata masinis ini jail sengaja ngerjain kami dengan berhenti agak jauh dari tempat kami menunggu. Masih jail juga, saat kami tepat di depan pintu, tiba-tiba pintu gerbong tertutup. Sambil tertawa, si Ayah berteriak sesuatu ke masinis sambil menekan tombol pembuka pintu. Kami tidak sempat minta penjelasan apa yang mereka teriakkan. Karena begitu kami berempat naik, kereta segera jalan.
Dengan kocaknya si Ayah beserta si Tengah yang pernah tinggal di rumah kami di Indonesia, melambai-lambai sambil meloncat-loncat dengan semangatnya. Kami tertawa melihat mereka. Tetapi setelah mereka hilang dari pandangan, kami terdiam. Baru terasa betapa berharganya pengalaman ini dan betapa sedihnya perpisahan ini. Karena hanyut dalam perasaan, saya baru ngeh 10 menit kemudian, kereta yang kami naiki ternyata kereta double decker yang modern banget. Sepertinya sih kereta baru. Sesaat kemudian kami ngelamun lagi, kereta yg keren itu terlupakan untuk diamati.
One thought on “Cologne, dan kota kecil sekitarnya”