Explore SumBar with Emak-emak

Baru kali ini saya kesampaian jalan-jalan nginep 3 hari 2 malam bareng rombongan mak-emak. Rempong sudah pasti. Satu emak dalam satu keluarga aja udah jadi biangnya rempong. Apalagi rombongan ini, semuanya emak-emak!

Sebagai gambaran betapa ramenya grup ini, kesamaan kami hanyalah karena tinggal di jalan yang sama. Yang lainnya serba beda. Mulai dari perbedaan budaya, pendidikan, pekerjaan, selera makan, hingga kebiasaan jalan-jalan. But that’s okay. Saya masih bisa menikmati perjalanan. Hitung-hitung nambah pengalaman.

Satu yang gak nahan pergi dengan rombongan ini adalah kebiasaan mak-emak berfoto dengan durasi pengambilan gambar yang luamaaa buuanget, hanya di satu spot foto. Sedangkan Sumatra Barat punya begitu banyak spot foto yang cantik-cantik. Kebayang kan lamanya kami bepergian. Mulai dari foto wefie gaya rapi, gaya menunjuk sesuatu, gaya punggung-punggungan, gaya lompat dan beragam gaya bebas lainnya. Sudah itu aja? Belum! Masih ada gaya selfie bertopang dagu, memegang ujung kerudung, badan miring dengan kepala tengleng, yang perlu diulang berkali-kali kalau dilihat masih kurang cantik. Sudah? Belum!!! Masih ada gaya duo, trio, atau yang warna bajunya sama. Gosh! Pengen jambak-jambak rambut rasanya.

 

Spot foto pertama adalah Aia Tajun Lembah Anai. Air terjun dengan ketinggian 35 m ini sebenarnya pemandangannya biasa aja, menurut saya. Namun kemudahannya dicapai karena berada di pinggir jalan besar menjadi daya tarik utama. Tiket masuknya murah, cuma Rp 3000 doang. Sayang infrastrukturnya kurang bagus. Tangga menuju ke air terjum terlalu curam. Tempat foto-foto yang memungkinkan menangkap air terjun secara keseluruhan, hanya beralaskan batu-batu besar terjal yang licin. Mungkin karena medan yang kurang ramah buat ibu-ibu, kami tidak terlalu lama foto disini. Yah … 45 menit lah (gubrak …)

SB_LembahAnai

Air terjun Lembah Anai sebenarnya bisa dipoles lebih cantik. Panggilah arsitek lansekap handal yang bisa merancang tangga, railing, pijakan tempat foto menjadi kokoh dan aman, tapi dengan design yang menyatu dengan alam. Lalu fungsikan kembali jalur kereta yang sudah mati yang ketinggiannya sejajar dengan titik keluarnya air terjun. Bukan untuk sarana transportasi tapi benar-benar jalur kereta wisata. Seperti Puffing Billy Steam Train di Melbourne. Kereta uap tua yang dialih fungsikan sebagai kereta wisata yang melewati area hutan.

Nus_PadangPanjang

Kurang puas berfoto di Lembah Anai, para ibu memaksa supir bis mini kami berhenti mendadak. Mereka melihat tulisan Kota Padang Panjang yang besar bagus buat background foto. Jadilah kami turun foto-foto dulu buat barbuk kalau sudah sampai di Padang. Tiba-tiba ada yang menginspirasi untuk berfoto DI TENGAH JALAN di bawah gerbang selamat datang. Yak benar di tengah jalan. Tanpa berpikir dua kali maka nyebranglah kami melewati jalan antar kota dimana umumnya mobil dan bus melaju dengan kencang. Emang mak-emak gak boleh dilawan.

Nus_GatePdgPjg
Wajah asli terpaksa ditutup dengan The Kadarsians, utk menghindari protes ibu-ibu

Sebenarnya tujuan utama kami hari itu adalah ke Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) di Padang Panjang. Disejuknya kota Padang Panjang berdirilah gedung informasi ini berwujud rumah gadang penuh ukiran nan cantik dan anggun. PDIKM adalah satu-satunya (CMIIW) di SumBar yang menghimpun berbagai dokumen dan informasi tentang kebudayaan Minangkabau. Tiket masuknya murah hanya Rp 2000 saja, karena PDIKM adalah lembaga non profit (di Jakarta bayar pakir 2000 bisa dipelototin tukang parkir liar pinggir jalan). Meskipun tiketnya murah, tapi koleksi yang disajikan cukup langka lho. Ada koleksi buku tua langka, yang copian-nya yang bisa dibaca di tempat. Ada juga koleksi dokumen tentang Minangkabau seperti surat kabar yang terbit awal abad 19 dan surat-surat perjanjian kuno. Dokumen yang sudah rapuh tersebut sudah discan di microfilm, dan dapat dilihat melalui alat bacanya, bantuan dari Pemerintah Australia.

Nus_PDIKM

Tidak semua orang tertarik dengan peninggalan sejarah itu. Yang menarik minat turis ke PDIKM adalah kesempatan berfoto dengan baju adat minang. Kondisi kesehatan saya sedang tidak bagus saat itu, jadi saya males repot-repot berganti baju adat. Sewa baju adat kalau gak salah Rp 50.000 sudah termasuk bantuan petugas untuk memakaikannya. Rencana awal, sambil menunggu teman-teman berganti pakaian, saya mau lihat koleksi sejarah di sana. Tapi tidak ada petugas khusus yang menjelasakan. Adanya malah petugas yang menawarkan sewa baju 😛

Lumayan lama menunggu ibu-ibu berganti baju, karena harus bergantian dengan rombongan turis Malaysia. Tapi lebih lama lagi bagian foto-fotonya. Saya yang kebagian jadi fotografer (pake kamera hape) ikut rempong mengarahkan gaya mereka. Pilihan spot fotonya acak banget. Mulai dari di pelaminan yang disediakan (mau kawin lagi Bu?), depan tangga, di taman, depan lumbung padi, hingga nangkring di jendela rumah gadang.

Malamnya kami menginap di Bukit Tinggi. Hotel pilihan ketua rombongan adalah hotel lama sederhana bercat merah hitam dengan atap khas Minang. Sayangnya hotel tersebut meski pelayanannya baik, tapi lorong dan kamarnya lembab dan bau apak. Hidung saya yang sensitive langsung bersin gila-gilaan. Udara bukit tinggi memang dingin. Kalau sirkulasi kamar baik, sebenarnya tidak diperlukan AC. Namun karena berasa ngap, kami coba nyalakan AC yang sepertinya jarang dinyalakan dan jarang dibersihkan. Sehingga keluarlah debu dan mungkin juga spora jamur, bersama semburan angin AC yang tidak dingin. Jadilah saya bersin lagi dengan hebatnya. Hiks malam itu saya menderita sekali. Waktu berangkat my body memang not delicious. Ditambah kumatnya alergi … lengkap sudah.

Puji Tuhan, keesokan harinya saya bangun dengan badan yang lebih segar. Mungkin kebantu dengan paracetamol dan obat alergi yang saya minum sebelum tidur. Ibu- ibu sudah cantik menikmati sarapan sederhana berupa nasi goreng dan roti dengan selai seadanya. Pagi-pagi pun sudah diawali dengan foto di tempat sarapan dan di depan hotel 😀

Pagi itu melalui Paya Kumbuh kami naik mobil sejauh 50 km selama 1.5 jam menuju Lembah Harau. Perjalanan menurun terus hingga kami tiba di desa yang dikelilingi tebing-tebing tinggi seperti benteng perlindungan alami bagi penduduk desa. Ada juga air terjun, tepatnya air yang merembesi dinding yang ketinggiannya melebihi air terjun Lembah Anai. Pemandangan alam yang menakjubkan. Tak heran daerah itu dijadikan Cagar Alam Harau.

Nus_LembahHarau
Contoh gaya foto “menatap ke masa depan”

Di spot foto favorit berdasarkan saran driver kami, para mak-mak langsung berpose. Dalam sekejap fotografer lokal langsung merubung, menjajakan foto langsung cetak. Sudah canggih mereka. Fotonya bukan pakai Polaroid tapi bawa printer yang dinyalakan pakai accu. Semula fotografer lokal ada 5 orang. Berhubung mak-mak foto-fotonya lama banget, satu persatu mereka menyingkir dan hanya tinggal satu orang. Harga jual print foto yang semula 50.000/lembar turun jadi 50.000 buat 3 foto. Terus terang kami beli karena kasihan. Jaman sekarang orang kan jarang cetak foto. Cukup di kamera hape.

Nus_Kelok9

SampahKirain udah abis gaya saat berfoto di Lembah Harau. Ternyata 30 menit kemudian, saat kami tiba di Kelok Sembilan, mak-mak ini masih juga semangat foto. Hadeuuh. Saya tidak langsung bergabung dengan mereka, tapi mengagumi dulu konstruksi jalan meliuk Kelok Sembilan yang merupakan jalur penting perdagangan di Sumatra sejak jaman Belanda di awal tahun 1900an. Konstruksi jalan layang Kelok Sembilan baru dibangun akhir 2003 dan diresmikan 10 tahun kemudian. Tiang penahan jalan bisa mencapai 58 m karena topografi terjal di bawahnya. Sudah pasti susah membangungnnya. Sayangnya kebersihannya tidak dijaga. Warung-warung di pinggir jalan, juga kendaraan yang lewat, sepakat menjadikan area bawah jembatan sebagai tempat sampah raksasa. Ah bangsaku …kalau urusan membangun gampang, tapi kalau merawat dan menjaga kebersihan kok ya susah banget.

Untunglah semangat foto reda karena perut lapar. Namun setelah makan siang, dan bobok cantik di mobil selama 2 jam perjalanan, naik lagi semangat fotonya. Apalagi tujuan berikutnya di Kota Batusangkar terdapat lokasi yang juga tak kalah indah untuk spot foto, yaitu Istano Basa Pagaruyung. Istana ini menjadi bukti adanya kerajaan Pagarayung yang menguasai 3 daerah asal muasal budaya Minang, yaitu Kabupaten Agam, Lima Puluh Kota, dan Tanah Datar. Tiket masuknya hanya Rp 7.000

Nus_IstanaPagaruyung.jpg

Ketertarikan saya dengan sejarah budaya Minang, memutuskan saya memisahkan diri sejenak dari ibu-ibu yang berfoto sana sini. Bersama seorang ibu yang berprofesi guru dan seorang ibu rumah tangga yang ingin mengetahui kekayaan budaya dari setengah dirinya, kami bertiga menjelajah istana tersebut.

Di lantai satu tersedia 2 TV interaktif yang dapat kita pilah-pilah jenis infonya. Dari TV tersebut kami mengetahui bahwa istana yang sekarang bukan lagi bangunan asli. Tercatat tahun 1804, 1966 dan 2007 terjadi kebakaran besar di istana yang hampir seluruhnya terbuat dari kayu. Kebakaran terakhir adalah yang terbesar sehingga hanya menyisakan 15% dari bangunan, termasuk tiang utama yang terbuat dari kayu ulin. Melihat foto-foto besarnya kebakaran tahun 2007 karena sambaran petih, saya heran mengapa sekarang pun tidak ditemukan alat pemadam kebaran yang mumpuni untuk menghindari musibah yang sama.

Istana ini sangat luas, terdiri dari 3 lantai. Lantai satu berisi singgasana raja dan kamar putri-putrinya yang sudaah menikah. Ada selasar ke bangunan samping yang merupakan dapur untuk para penghuni kerajaan. Lantai 2 berisi kamar putri yang belum menikah beserta contoh design interior kamarnya. Lantai 3 merupakan tempat penyimpanan senjata dan tempat raja bersantai. Tak heran dari lantai 3 kita bisa menikmati pemandangan indah perbukitan dan sejuknya angin yang bikin ngantuk.

Nus_InteriorIstana
Kamar Putri dan dapur

Sorenya kami kembali ke Bukittinggi dan menghabiskan waktu berfoto di Jam Gadang yang menurut cerita, mekanis mesinnya sama dengan jam Big Ben di London (really?). Tak lupa kegiatan khas ibu-ibu lainnya adalah berbelanja di Pasar Atas Bukit Tinggi untuk belanja oleh-oleh. Sedihnya beberapa bulan kemudian setelah kunjungan kami, Pasar Atas terbakar. Ditengah polemik mengapa Pasar ini sering terbakar, kami bersyukur saat itu masih bisa mengunjunginya dan bisa berbelanja tas, kain, dan kerajinan khas Minang yang unik.

Besoknya karena kesehatan yang belum pulih, saya terpaksa pulang duluan, bareng teman yang harus ngantor. Ibu-ibu lain masih berfoto-foto dengan berbagai gaya di Kota Padang, Pantai Padang, dan utamanya di Batu Malin Kundang. Perasaan saya campur aduk antara sedih tidak bisa mengeksplor Ibukota Sumatra Barat dan …gembira juga karena tidak harus ikut foto berjam-jam di pantai yang panas.

Advertisement