Hari ketiga di Jerman, kami bangun kesiangan. Perjalanan kemarin ternyata menguras energi kami dan anak-anak. Bagun jam 8 waktu setempat, kami hanya sarapan mie instant cup yang dibawa dari rumah. Barbeque dinner semalam rasanya masih mengenyangkan, tidak perlu sarapan berat.
Perjalanan dari Dusseldorf ke Munich
Hari ini untuk pertama kalinya kami akan naik kereta antar kota antar state yang lumayan lama. Agar nanti gak grubak-grubuk, suami menyarankan kami survey dulu. Kebetulan di samping hotel kami ada Customer Servicenya Bahn. Tanpa merasa perlu mandi dulu, saya mampir ke counter ini yang dijagai oleh 3 orang staf Bahn. Seorang ibu berambut coklat berbadan subur, menyapa saya dengan ramah. Saya hendak mengkonfirmasi, apakah print out ticket ini perlu ditukar atau divalidasi atau apa-lah di counter ini. Dengan Bahasa Inggris yang jelas, ia memastikan tidak perlu ada tindakan apapun. Bawa saja print out ticket ini dan mengingatkan untuk membawa kartu kredit sesuai nama di tiket dan datang minimal 10 menit sebelumnya. Si Ibu juga menambahkan info yang tidak saya tanyakan, tentang nomor platform/peron tempat kereta kami berhenti. Nomor peron memang tidak tersebut di tiket. Wah saya berterimakasih sekali dengan info ini. Sebelum saya berlalu, si Ibu gak tahan untuk nanya “where are you from?”. Pertanyaan yang sering sekali saya dapatkan kalau bepergian.
Sebelum kembali ke hotel, saya mampir dulu membeli roti untuk makan siang di kereta. Di Dusseldorf Haupbahnhof, banyak sekali toko roti, sandwich, pizza, hotdog dan croissant. Salah satu favorit kami adalah Le CroBag, toko croissant yang renyah dan buttery. Spinach pie-nya enak banget dan porsinya mengenyangkan untuk makan siang.
Jam 11.00 kami sudah selesai dengan administrasi check out hotel. Kereta kami akan berangkat 11.27. Waktunya sangat cukup karena hotel kami berada dalam satu gedung dengan stasiun. Para koper boys dan koper girl menyeret koper masing-masing ke peron 12. Nomor peron terlihat dengan jelas di kanan dan kiri stasiun, bersisian dengan escalator. Peron berada di lantai 2, sehingga keberadaan escalator sangat membantu kami. Ada juga lift tapi khusus untuk difable dan kereta bayi.
Tiba di peron, ada papan info berjudul “Wagenreinhungplan” yang berisi info rangkaian kereta yang masuk di peron itu. Kita dapat mengetahui jumlah gerbong dalam 1 rangkaian kereta, urutan nomor gerbong (yang tidak berawal dari no. 1), serta datangnya kereta dari arah kanan atau kiri. Kami baru tahu ternyata peron dibagi atas section A sampai F. Plang penanda section digantung cukup jelas di sisi peron. Saat itu kami berdiri di section A, dan gerbong kami berada di section F. Bayangkan bila satu gerbong panjangnya 20 meter, maka pindah ke 15 gerbong ke belakang berarti kami masih berjalan 300 meter lagi. Kami pun segera pindah menunggu di ujung peron, Section F, sebelum kereta datang. Benar saja tepat 11.20 kereta datang dan gerbong kereta kami berhenti tepat di depan kami. Lalu 7 menit kemudian, kereta langsung jalan. Wow ….hebat serba precise.
Pemeriksaan karcis dilakukan saat kereta sudah berjalan. Petugas hanya mencocokkan nama di tiket dengan kartu kredit yang digunakan untuk membeli, serta menghitung jumlah penumpang sesuai tiket. Bila semua sudah sesuai maka tiket akan distempel dengan tanggal dan jam pemeriksaan. Pemeriksaan diulang setiap kereta berhenti di suatu stasiun. Tiket yang sudah distempel hanya dilirik saja oleh petugas yang wajahnya jauh dari ramah.
Perjalanan selama 5 jam Dusseldorf ke Munich atau Munchen, tidak terasa membosankan. Anak-anak menikmati pengalaman baru naik kereta. Buat si Bungsu, inilah pertama dia naik kereta yang cukup lama. Pemandangan saat masih antar kota, tidak begitu bagus. Hanya nampak gedung-gedung kaku kusam dan graffiti di tembok dan jembatan. Saat kereta memasuki daerah pedesaan, mulailah terlihat rumah-rumah petani, hamparan ladang gandum, jagung dan bunga matahari hingga hutan.
Penumpang yang naik dan turun di setiap stasiun tak luput dari perhatian kami. Yang paling kami ingat adalah naiknya seorang ibu muda dengan 2 anak kembarnya laki-laki balita berambut pirang yang lucu. Di stasiun keberangkatan, keluarga kecil ini diantar oleh kakek dan neneknya yang mencium si anak berulang-ulang sambil berbicara dalam Bahasa Jerman. Tapi saat kereta mulai berjalan, ternyata si anak bisa juga berbahasa American English. Bila si anak bertanya dalam Bahasa Inggris, si Ibu akan menjawab dalam Bahasa Jerman. Sebaliknya bila si anak bertanya dalam Bahasa Jerman, si Ibu menjawab dalam Bahasa Inggris. Dua anak inipun berebut mainan dalam 2 bahasa. Kami tidak bisa menahan diri untuk melirik dan tersenyum memperhatikan mereka.
Isi kereta tidak pernah terisi full. Paling hanya 60%. Jadi kalau beli ticket go-show sudah pasti dapat, dengan resiko harga lebih mahal 3-4 kali lipat dibanding bila beli 3 bulan sebelumnya. Gerbong yang kami naiki adalah gerbong kelas 2, tapi interiornya bagus dan bersih. Konfigurasi kursinya selain susun 2 seperti bis, ada juga yang 4 kursi berhadap-hadapan dengan meja kecil diantaranya. Kami memilih yang berhadapan seperti ini supaya ngariung sekeluarga. Free wifi hanya tersedia di gerbong kelas 1. Tapi anak-anak tidak complain. Selain banyak yang bisa dipelajari dan “ditonton”, anak-anak masih ingin menambah waktu tidurnya.
Kesan Pertama tentang Munich
Jam 16.27 kami tiba di Munich. Penampakan peronnya tidak jauh beda dengan peron Gambir. Yang berbeda adalah penampakan kereta ICE (Inter City Express) yang kami naiki. Bentuknya ya seperti bullet train pada umumnya.
Stasiun Munich hanya terdiri dari 1 lantai. Penataannya tidak serapi Stasiun Dusseldorf. Kami juga merasa lebih tidak aman. Banyak beberapa orang berkulit gelap yang hilir mudik di stasiun, tanpa kegiatan yang jelas. Kadang mereka berteriak dengan temannya dalam bahasa yang tidak kami ketahui. Sebagian dari kelompok ini ada juga yang bekerja dengan benar sebagai cleaning service. Di beberapa pojokan juga ada 1-2 bule homeless yang mengangkut seluruh keperluan hidupnya dalam troli belanja. Semua itu tidak membuat kami jadi ketakutan sih, hanya menjadi lebih waspada aja.
Hotel kami di Munich atau Munchen cukup dekat dari stasiun. Kami harus menyeret koper kami hingga 500 m lewat trotoar menyusuri jalan besar. Suasana kota sangat ramai dan panas. Beda banget dengan Dusseldorf yang sepi dan sejuk banyak pohon. Beberapa mobil sedan yang knalpotnya dimodifikasi, sesekali lewat menggerung-gerung. Didalamnya umumnya pemuda-pemudi berwajah timur tengah. Dandanan mereka sih sudah ala barat. Alunan musik irama padang pasir yang bersaing keras dengan deru mobil, memastikan bahwa mereka bukanlah penduduk asli Jerman. Memang penghuni kota Munich lebih heterogen. Toko kebab saja mudah ditemukan di setiap pojokan jalan.
Art Hotel adalah hotel kecil yang hommy. Entah mengapa mereka membuat tangga yang curam di depan pintu masuk. Sehingga kami kewalahan menaikkan koper-koper kami yang berat ke lantai depan. Agak bete dengan staf resepsionis yang tidak kelihatan berusaha membantu. Tapi proses check in yang cepat menghilangkan kekesalan kami. Belum lagi sambutan anjing Labrador tua yang ramah, milik hotel membuat kami langsung merasa nyaman dengan hotel ini. Si anjing yang sepertinya sudah agak buta dan jalannya sudah agak pincang ini, bebas berkeliaran di lobby hotel menyapa tamu.
Sekitar Kota
Setelah beristirahat sebentar, kami melanjutkan jalan sebentar keliling kota. Tujuannya hanya 2 yaitu ke Viktualien Food Market, semacam pasar tradisional dan tentunya ke Oldtown atau Altstadt. Kami jalan kaki lumayan jauh. Perjalanan ke pasarnya saja sudah 1,8 km. Belum muternya dan balik lagi ke hotel. Surprise juga si Bungsu cukup kuat. Justru emaknya yang gempor.
The Viktualienmarkt adalah pasar tradisional yang menempati area yang sangat luas. Terdiri dari lebih 100 stand. Jualannya bermacam-macam mulai dari bunga, buah, juice, bumbu-bumbuan, keju, daging sampai ikan. Harusnya pasar ini buka sampai jam 8 malam. Tapi kami tiba sudah jam 6 sore, banyak toko sudah tutup, padahal hari masih terang benderang. Yang masih buka kebanyakan Biergarten atau warung bir yang dikelilingi dengan meja kursi yang dinaungi tenda kecil. Masih ada beberapa warung buah. Lagi-lagi saya membeli ½ kg Cherry seharga 2,99 Euro. Mumpung murah …
Pasar ini berada di dalam kompleks Altstadt. Jadi kami lanjutkan berkeliling ke tengah kota mencari alun-alun. Suhu saat itu lumayan panas. Sekitar 32 C seperti Jakarta di pagi hari. Melihat banyaknya orang minum bir dingin di gelas besar, membuat kami berasa haus banget.
Alun-alun kota bernama Marienplatz atau Bahasa Inggrisnya Mary’s Square. Alun-alun ini sudah ada sejak 1158. Gedung utama di alun-alun itu adalah The New City Hall (Neues Rathaus). Di sisi lainnya ada juga The Old City Hall (Altes Rathaus) dengan gaya ghotic. Tapi kedua gedung ini bukanlah penarik utama turis ke tempat ini. Area pedestrian dari Karlplatz ke Marieplatz yang dipenuhi toko-toko kecil dan Biergarten, itulah yang menarik banyak turis.
Selain itu banyak atraksi unik di alun-alun ini. Kami menikmati cukup lama “pengamen” yang menggelar mini string concert yang memainkan musik klasik. Mereka niat banget sampai rela membawa piano ke jalanan. Musik yang dimainkan sangat bagus. Bahkan mereka menjual juga CD rekaman lagu-lagu klasik yang mereka mainkan. Saya sempat terlena dengan alunan musik Bethoven di kota tua ini yang membawa imajinasi saya ke masa kejayaan bangsawan Bavaria.
Kami pun sempat masuk ke toko sepatu dan toko baju dengan merk terkenal. Keluar masuk toko seperti ini dikarenakan protes anak-anak. “Sudah 3 hari di Jerman kok kita belanjanya cuma cherry aja? Itu pun yang doyan cuma mama.” #jadimalu
Hari mulai redup. Anak-anak bisa “diyakinkan” untuk tidak belanja. Mereka nampaknya cukup puas dengan window shopping aja. Kami segera mengakhiri jalan-jalan hari ini dengan makan malam di restaurant waralaba yang tokonya juga banyak di Jakarta. Tiba di hotel sudah lelah dan kenyang. Total kami berjalan kaki mungkin sekitar 5km. Phuiiih