Hungaria terkenal dengan wine-nya. Saking enaknya wine dari Hungaria, konon Inggris mengimpor wine dari Hungaria, khusus untuk konsumsi keluarga kerajaan. Meski demikian dari sisi kuantitas, jumlah produksi wine Hungaria masih kalah jauh dari negara Eropa lainnya seperti Perancis, Italia dan Spanyol. Inilah alasan kami mengambil Winery Tour di pinggiran Budapest. Tepatnya di daerah Etyek, sekitar 30km dari Budapest. Pengen tahu juga sisi lain dari Hungaria selain kota tua. Sekaligus mengantisipasi kebosanan anak-anak dengan kota tua.
Etyek Winery Tour
Etyek Winery Tour ini dikelola oleh tour agent lokal skala kecil. Bookingnya online gak pake bayar DP. Cukup kirim email mau tour tanggal berapa, dan yang pergi berapa orang. Dengan cara booking yang gampang begini, saya sempat ragu, beneran ada gak sih tour ini. Ternyata tepat jam 10 pagi kami sudah dijemput. Tour guidenya seorang Ibu seumuran saya, yang cantik tinggi langsing dan sangat ramah. Ia merangkap juga sebagai supir, mengendarai mobil besar yang muat untuk 9 orang.
Dari hotel, kami harus menjemput seorang tamu di hotel lain. Tamu lain ini adalah seorang opa, yang berprofesi sebagai arranger sekaligus composer dari USA. Si opa juga cukup ramah. Grup kecil kami jadi terasa menyenangkan. Perjalanan 45 menit lewat jalan tol menuju Etyek, yang sudah terhitung Budapest coret, tidak terasa membosankan. Si Ibu tour guide menceritakan banyak sejarah Budapest dan sejarah wine di Hungaria, ditimpali sesekali dengan pertanyaan dan sharing cerita dari kami.
Masih terhitung pagi saat kami sampai di gudang anggur yang pertama. Gudang penyimpanan anggur ini sekaligus tempat wine tasting. Masih jam 11an siang sudah minum wine nih. Kami masuk dalam gudang yang mirip gua berdinding batu putih yang ditata dengan baik. Brrrr…terasa masuk ruangan ber-AC. Padahal tidak ada AC di dalamnya. Malah disediakan selimut dan syal bila merasa terlalu dingin.

Seorang pemuda berkacamata menjadi pemandu kami untuk wine tasting. Kami akan mencicipi 4 jenis white wine. Agak kecewa juga, karena semula mengira yang dicicipi red wine. Dimulai dari wine yang rasanya sangat dry dan ditutup dengan rose white wine yang sedap. Coklat putih yang disodorkan sebagai pendamping minum white wine juga terasa sangat enak. Kepala terasa kliyengan setelah gelas yang terakhir, karena saya memang bukan peminum wine dan perut saya agak kosong.
Selanjutnya kami diajak ke kebun anggur. Kami naik ke menara pengawas yang terbuat dari kayu. Meski cuaca panas masih terik, tapi di Menara pengawas ini angin yang bertiup terasa dingin. Sejauh mata memandang adalah kebun anggur yang sedang berbuah. Betah juga berlama-lama disini, kalau saja perut tidak berontak minta diisi. Memang sudah jam 12 lebih sedikit, saatnya makan siang.
Tempat makan siang bukan di restaurant komersil tapi di rumah salah seorang petani anggur. Pemiliknya seorang ibu tinggi besar yang wajahnya selalu tersenyum dan tidak bisa berbahasa Inggris. Rumahnya yang besar terbuat dari batu putih berhalaman luas ditanami anggur rambat di atapnya. Ada gudang anggur juga di samping rumahnya, tapi sudah tidak dipergunakan maksimal katanya. Suasananya homy banget. Tak heran dia menyewakan juga beberapa kamarnya untuk turis yang ingin merasakan suasana pedesaan. Si Ibu merangkap sebagai resepsionis, house keeping dan koki.
Kami makan di halaman yang teduh. Satu set meja makan panjang dari kayu sudah tertata rapi untuk kami. Hidangan pertama adalah appetizer berupa roti, keju dan salami yang semuanya home made. Kelihatannya aja sederhana, tapi rasanya benar-benar enak. Bersyukur juga “rival makan” kami adalah si Opa yang makannya sedikit hehehe ….
Hidangan utamanya adalah sejenis pasta yang bentuknya seperti macaroni salah buat dan sejenis daging semur (Beef stew). Don’t judge the food by its appearance. Bentuk makanannya sederhana tapi rasanya … pas banget dipadu dengan wine. Penutupnya adalah sejenis bread pudding ditemani seonggok peach jam. Agak kemanisan buat saya, tapi kok ya abis tandas ya…entah karena udara pedesaan, atau memang makanannya enak.
Khusus buat si Bungsu yang belum boleh minum wine, si Ibu menyediakan sirup buatannya sendiri yang dicampur dengan air soda dingin. Astaga segaaarrrr banget rasanya dan menyisakan rasa manis dan wangi natural di lidah. Entahlah terbuat dari buah dan bunga apaan tuh sirup. Sudah pasti gak akan ditemukan di supermarket. Saya yang sudah kliyengan tadi saat wine tasting, lebih senang minum sirup home made ini.
Wisata kota tua Budapest
Dengan perut kenyang dan hati senang, kami tiba kembali di kota jam 2-an siang. Masih bisa lanjut tour keliling kota naik bus HOHO. Tiket Big Bus yang kami beli berlaku untuk 48 jam. Promonya mereka memang beli 24 jam, gratis 24 jam lagi.
Pariwisata di kota tua Budapest sebenarnya hanya mencakup wilayah kecil saja. Dengan menyusuri Sungai Danube sepanjang 5 km, maka di kiri kanan sungai itulah turist spotnya. Seperti kota tua di Eropa pada umumnya, Budapest mempunyai sejumlah gedung bersejarah cantik yang dikelilingi oleh jalan berbatu khas Eropa kuno dan pasti ada alun-alun, jembatan, gereja besar, dan istana.
Alun-alun Budapest yang terkenal adalah Hero’s Square, seperti yang saya ceritakan sebelumnya di sini. Sedangkan icon kotanya adalah Gedung Parlemen (Parliament). Gedung besar cantik penuh ukiran ini didirikan tahun 1885 sampai 1905. Beberapa bagian gedungnya bersalut emas hingga total 40 kg. Gak usah heran, emas di Monas masih lebih banyak yaitu 50 Kg. Mau dilihat siang atau malam, gedung ini mempunyai pesonanya sendiri.
Seperti umumnya kota besar kuno Eropa, Budapest berada di tepi sungai untuk memudahkan transportasi antar kota. Kalau ada sungai berarti ada jembatan. Jembatan yang terkenal di Budapest adalah Chains Bridge, jembatan batu pertama yang selesai dibangun tahun 1849 untuk menghubungkan kota Buda dan Kota Obuda di sebelah Barat sungai dengan kota Pest di sebelah Timur sungai. Ketiga kota ini kemudian bersatu menjadi kota Budapest pada tahun 1873.
Di ujung jembatan ini ada 2 patung singa penjaga kota yang besar banget, dibuat oleh pematung János Marschalkó, seorang perfeksionis yang rela mati bila ada cacat pada karyanya. Konon saat seremoni peresmian patung itu, seorang anak berseru bahwa patung singanya cacat, karena tidak punya lidah. Tanpa melalui proses galau, si János ini langsung bunuh diri terjun ke sungai. Ada yang berpendapat, cerita ini hanyalah cerita. Pematung ini tidak bunuh diri, atau versi lainnya, dia sempat lompat ke sungai tapi diselamatkan orang-orang. Sejarah yang lucu … Versi lain cerita ini, ngapain juga si János bunuh diri, wong singa ini kalau dilihat dari ketinggian ada lidahnya kok.
Kembali lagi tentang sungai, saking besarnya sungai Danube, di tengahnya ada sebuah delta yang disebut Margaret Island atau Margit-sziget. Mungkin orang jaman dulu tidak merasa perlu membedakan mana delta mana pulau. Pokoknya daratan yang dikelilingi air adalah pulau. Panjang pulau eh … delta ini sekitar 2.5 km, dan lebarnya 500m. Terkenal karena tamannya yang cantik. Saat tour dengan bus HOHO, saya gak terlalu ngeh dengan keberadaan pulau itu. Yang sebelah mana ya ? Harusnya sih dijelaskan dalam recorded guide di bus. Mungkin saat itu saya sedang sibuk kipas-kipas, karena panas banget udaranya … AC bus sama sekali tidak dinyalakan.
Layaknya negara berbentuk kerajaan, maka sudah pasti ada istananya dan bentengnya sekaligus. Royal Palace, adalah istana megah di daerah Buda yang didirikan abad 13. Nama lainnya adalah Buda Castle. Istana ini luas sekali, sampai capek untuk mengitarinya. Konon beberapa sudut istana ini, sering dipakai untuk shooting film Hollywood dan film Eropa. Meski dalam film lokasi disebutkan di Inggris misalnya, sebenarnya shootingnya di Budapest. Saat saya ke sana pun, sedang ada 2 truck trailer sedang menurunkan peralatan shooting.
Menurut saya, gedung dan patung-patung di Buda Castle sangat menarik dicermati. Namun tidak demikian menurut anak-anak. Mereka cepat bosan. Justru stand panahan ala raja-raja menarik minat si Sulung. Di salah satu sudut taman istana yang diteduhi pohon besar, 4 papan panahan disusun berjejer dilengkapi beberapa tumpukan jerami bentuk kotak dan stage kecil kursi kerajaan untuk foto booth. Si penjaganya memakai baju ala pengikut Robin Hood. Bayar 3 Euro, dapat 5 anak panah untuk ditembakkan ke target. Awalnya booth ini sepi, tapi saat si Sulung mulai memanah, beberapa turus bule berkerumun menonton dan ikut bersorak saat anak panah nyaris mengenai target. Saat kami pergi, booth itu jadi rame deh dikunjungi orang …
Keindahan Buda Castle, menurut saya masih kalah dengan bentengnya. Fisherman’s Bastion, benteng yang terbuat dari batu putih ini dibangun lebih awal, tahun 1905 di dekat pasar ikan di desa nelayan. Biasanya benteng berkesan gahar, tapi karena warnanya putih maka bangunan ini nampak lebih feminin dan lebih cocok sebagai istana putri raja dibanding sebagai benteng. Memang tujuan benteng ini bukan untuk benteng pertahanan, tapi lebih ditunjukan untuk mengawasi kota dari ketinggian. Makanya banyak tempat duduk atau balkon yang mempunyai pemandangan lepas ke arah kota. Di musim panas begini, susah banget berfoto di salah satu balkonnya. Turisnya buanyak…Baru nyengir bentar dan jepret sekali, turis di belakang kita udah main excuse me aja ngegeser tempat kita foto.
Fisherman’s Bastion berada dalam 1 kompleks dengan Matthias Church, gereja kedua terbesar di Hungaria. Sedangkan gereja yang paling besar adalah St. Stephen’s Basilica di area Pest. Tingginya menyamai Gedung Parlemen yaitu 96 m. Angka ini melambangkan tahun keramat 896M saat suku Magyar mendirikan Kerajaan Hungaria. Tempat ibadah lain yang spektakuler adalah Grand Synagogue, tempat ibadah agama Yahudi yang unik. Gaya bangunannya adalah kombinasi gaya Yahudi, Kristen dan Islam. Merupakan Sinagog kedua terbesar di dunia setelah Sinagog di New York.
Yang membedakan Budapest dengan kota tua Eropa lainnya adalah banyaknya pemandian air panas atau thermal bath untuk publik. Membayangkan mandi air panas di teriknya musim panas saat itu, hhhmmm … nanti dulu deh. Lagipula the idea of taking bath rame-rame, tidak ada di agenda saya saat ini.
Budapest, diluar Tourist Spot.
Selain naik turun bus HOHO, kami sempat juga naik transportasi umum ke Béla Bartók National Concert Hall yang terkenal di Hungaria. Béla Bartók sendiri adalah nama musisi terkenal asal Hungaria. Tempat yang kami kunjungi ini terkenal sebagai tempat festival musik dunia. Pengen tahu dalemnya seperti apa.
Dengan berbekal sedikit browsing tranportasi umum Budapest, kami naik trem kuning no 2 yang rutenya lurus menyusuri tepi sungai Danube. Berangkat dari halte Eötvös tér dekat Chain Bridge, turun di halte ke 7, yaitu Millenniumi Kulturális Központ. Beli tiket untuk sekali jalan ternyata tidak bisa di halte. Belinya harus di vending machine ticket di stasiun kereta bawah tanah yang jaraknya 300m jalan kaki. Buset deh gak praktis banget. Demi melihat music hall tersebut, kami bela-belain deh jalan kaki ke sana. Udah nyasar, stasiun keretanya kotor banyak puntung rokok dan bau pesing, eh ditambah bingung cara beli ticketnya karena bahasanya Bahasa Hungaria. Untunglah si Bungsu dengan cepat menemukan button “English” di mesin itu.
Di daerah turis, Petunjuk dalam bahasa Inggris hampir selalu ada mendampingi bahasa Hungaria. Contohnya rute tram di bawah ini.
Setelah mengantongi 4 single trip ticket pp, kami kembali lagi ke halte Eötvös tér. Tidak lama kemudian lewatlah trem kuning no.2. Nah mulai deh bingung lagi …ticketnya divalidasi dimana. Ternyata ada box orange kecil dekat pintu masuk. Jadi meski sudah duduk, kami berdiri lagi ke box itu untuk nyeklok tiket di situ. Kondisi tremnya …uumm tidak terlalu bersih, tapi juga tidak kotor. Jarang ngeliat orang kantoran berbaju rapi di trem ini. Nyantai semua bajunya.
Sampai di Concert Hall sudah jam 18.30. Hanya butuh waktu 15 menit perjalanan. Dan ternyata saudara-saudara, Concert hallnya tutup jam 18.00. Yaaah kecewa deh gak bisa masuk. Kami hanya bisa ngintip dalamnya dari pintu kaca. Setelah foto-foto bentar, kami segera kembali ke halte dan menaiki trem kuning yang lewat.
Setelah 5 menit trem berjalan…saya kaget. Loh loh loh… trem ini kok menjauhi Sungai Danube. Pada plang info halte yang dilewati trem ini tidak ada tulisan Eötvös tér. Dari sekian banyak kata yang banyak huruf abjad terakhir rstuvwxyz, saya hanya bisa kenali kata “Keleti” stasiun kereta utama. Jiaaah …salah naik trem rupanya. Mentang-mentang trem koneng, main langsung naik aja. Ya sudahlah dinikmati saja nyasarnya. Kami jadi tahu daerah perumahan Budapest, di luar daerah turis. Banyak apartment sederhana 6-10 lantai dengan jejeran jemuran dan rumput yang kurang terawat di halamannya. Pemandangan kota yang sama sekali tidak sekinclong daerah turisnya.
Untunglah kami tahu sedikit mengenai stasiun Keleti. Dari situ kami beli tiket kereta lagi ke Deak Ferenc, halte bus utama dekat hotel. Lengkap sudah perjalanan di Budapest. Kami justru senang sempat kesasar dengan sukses. Tour ini diawali dan diakhiri di luar hingar bingar daerah turis. Inilah jalan-jalan yang sebenarnya, mencoba berbaur dengan kehidupan lokal (alasan …padahal kesasar ….)