Hari ke-8 perjalanan kami ke Eropa Tengah, kami beranjak meninggalkan Budapest menuju Praha atau Prague. Lagi-lagi kami memutuskan naik kereta. Sebenarnya naik kereta merupakan salah satu cara kami untuk beristirahat, dengan cara duduk santai dan bengong menikmati pemandangan.
Pengalaman naik kereta malam yang kurang nyaman dari Munich ke Budapest, membuat kami was-was. Kereta yang akan kami naiki nanti, bagus gak ya? Kalau melihat kunonya stasiun Budapest Keleti yang dibangun tahun 1884, kok ya ragu-ragu bakal ada kereta modern mampir di situ.
Perjalanan kereta dari Budapest ke Praha
Kereta kami berangkat Jam 9.25. Kami sudah di stasiun sejam sebelumnya. Seperti yang saya ceritakan di sini, kami harus menukar lembar tanda bukti tiket online dengan tiket yang sesungguhnya. Saat itu saya benar-benar blank, tidak tahu menukarnya dimana. Hanya tahu, bahwa kami harus mencari box warna kuning. Sempat mau ikut antri di antrian panjang “International Office”. Untung sempat bertanya pada petugas yang lewat, kami disuruh langsung masuk ke dalam peron.
Di dalam peron, box kuning yang serupa mesin ATM berjajar 2 unit bersisian. Saya antri di belakang 2 turis Amerika yang memegang print out dokumen serupa dengan yang saya pegang. Saya ngintip gimana caranya. Maaaak …bahasanya, Bahasa Hungaria! Daripada malu bertanya sulit di tiket, langsung aja nanya caranya ke turis Amerika yang sudah berhasil memperoleh tiket. Dengan ramah sambil cengar-cengir, mereka menjelaskan caranya. Rupanya mereka tadi juga pake jurus coba-coba.
Ternyata caranya mudah. Petunjuk dalam Bahasa Inggris juga ada di atas monitor vending machine. Cari button “e-ticket” di pojok kiri bawah layar monitor. Layar langsung menampakkan kotak kosong yang harus diisi dengan nomor dari print out dokumen yang saya pegang. Klik “Print” dan ….tunggu bentar mesinnya memproses data. Lalu keluarlah 4 lembar tiket di bagian bawah mesin. Aaaah…senangnya. Tengkyu sir untuk bantuannya.
Saat kereta kami datang, seperti dugaan kami keretanya kuno dan terkesan suram. Jok kursinya berlapis bahan beludru warna coklat bintik kuning dan hijau…motif tahun 50-an! Gerbongnya ada yang berbentuk kompartemen, ada juga yang susunan kursi biasa berhadap-hadapan. Gerbong kami tanpa kompartemen. Koper diletakkan di depan kami duduk. Pokoknya tidak di gangway. Si Sulung dibantu penumpang lain meletakkan koper di rak atas kepala. Penumpang pria itu berat badanya mungkin 150 kg, berwajah khas Eropa Timur dengan sedikit senyum tapi sangat ringan tangan membantu kami. Kami banyak mendapat bantuan hari ini.
Semakin siang, suhu udara di dalam gerbong semakin panas dan lembab. AC yang ada di bawah jendela sering banget mati. Mulai deh … si Bungsu galau karena kepanasan, gatel keringatan, kehausan dan kelaparan. Untuk melupakan ketidaknyamanannya, saya ajak dia jalan mencari gerbong restorasi. Melewati gerbong dengan kompartemen, seeeeng…tercium bau kaos kaki lembab…iiih pada keringatan penumpungnya. Efek sampingnya adalah timbulnya bau-bauan gak jelas.
Sampai di gerbong restorasi, karena sudah lewat jam makan, meja-meja makannya sudah kosong. Seorang pegawai restorasi yang tampangnya mirip serdadu Rusia lengkap dengan rambut crewcut tapi ramah, menanyakan kami mau pesan apa. Nampak bajunya basah kuyup karena banjir keringat. Gak heran karena di gerbang restorasi ini ada dapur yang ovennya nyala terus maka suhu ruangan jauh lebih panas dari gerbong kami.
Sambil menunggu sandwich kami dibuat, saya bertanya ke petugas tadi yang sedang membereskan piring kotor. “Mas … emang keretanya selalu panas gini ya kalau siang?” Sambil tertawa dia menjawab, “This is NOT a train … It is a moving sauna.” Gubraaak…
Tujuh jam berada di dalam “moving sauna” membuat perjalanan kami terasa lebih lama. Mau tidur jadi gak enak berasa gerah. Mau baca, udah gak konsen. Mau liat pemandangan, udah bosen liatin ladang gandum dan bunga matahari. Mau kipas-kipas, capek tau kipasan 7 jam….


Sepasang turis Inggris sempat protes tentang AC ke petugas pemeriksa tiket, saking kepanasan. Cuma dijawab, “The Aircon is working maximum. Outside is very hot,” sambil cuek bebek melanjutkan meriksa tiket orang lain. Turis Inggris itu keliatan mangkel banget. Dan gak lama begitu kereta memasuki kota kecil di perbatasan Czech Republik, mereka langsung turun. Padahal tujuannya mau ke Praha.
Daripada panjang-panjang membaca penderitaan kami yang meleleh di kereta menuju Prague, saya persingkat saja ceritanya saat kami tiba di stasiun Praha Hlavni Nadrazi atau disingkat Praha hl. n. Kata Hlavni Nadrazi artinya Stasiun utama, atau main station atau Hauptbahnhof kalau di Jerman. Tak disangka tak diduga, stasiun ini ternyata keren banget seperti mall modern. Meski menempati bangunan kuno tahun 1871, tapi renovasi yang dilakukan pemerintah menyulap stasiun ini jadi lebih modern.
Setelah turun dari kereta durjana itu, yang pertama kami lakukan adalah mencari money changer untuk menukar Euro ke Koruna, mata uang Czech Republik. Pada Juli 2015, rate 1 Koruna (CZK) = Rp 550 dan 1 Euro = 28 CZK.
Sudah baca sih peringatan di berbagai web untuk tidak menukar uang di stasiun karena ratenya yang mahal. Dengan alasan kepepet untuk bayar taxi, terpaksa kami menukar 30 Euro saja. Money changer yang kami temukan kantornya bagus banget seperti bank. Ratenya terpampang jelas di screen TV, masih rate normal sesuai yang saya browsing sebelum berangkat. Banyak juga turis yang ngantri di situ, jadi aman lah …saya pikir. Setelah transaksi menukar uang barulah muncul “biaya administrasi” di struk yang jumlahnya lumayan besar tanpa info sebelumnya dari petugas. D*mn! Saya merasa kecolongan.
Masih di dalam stasiun, kami menuju “Tourist Center” untuk mencari peta kota dan bertanya cara terbaik menuju Rybna 9 Apartment, hotel tempat kami tinggal di Prague. Petugas yang kami temui tampangnya tidak terlalu ramah, tapi dia sangat helpful. Mungkin melihat tampang kami yang kucel dan lepek, dia menyarankan kami naik taxi aja. Hotelnya sebenarnya kurang dari 1 km, tapi karena jalannya berkelok-kelok, bisa jadi kami nyasar. Kami disuruh duduk saja di ruangan itu sementara dia memanggil taxi. Agak bingung juga, karena saya tidak mengharap dipanggilkan taxi, saya cuma perlu dikasih tahu caranya. Saya juga bingung apakah kami perlu memberi tips ke petugas yang sudah memanggilkan taxi itu.
Singkat cerita datanglah supir taxi yang tampangnya juga mirip serdadu Rusia. Si petugas tourist center menjelaskan dalam Bahasa Czech alamat hotel kami ke supir, lalu mempersilakan kami mengikuti si supir taxi. Masih bingung kami mengikuti si supir menuju parkiran yang ternyata agak jauh. Tanpa banyak cakap, karena gak bisa Bahasa Inggris, sang supir taxi dengan sigap memasukkan koper kami ke dalam bagasi dan diam sepanjang jalan menuju hotel. Suami mengikuti perjalan taxi dengan GPS karena takut dibawa muter-muter. Jalannya memang muter tapi arah yang ditempuh sudah benar. Memang begitulah Prague. Kota ini jalannya seperti labirin yang hanya cukup dilewati 1 mobil. Jadi kebanyakan jalannya satu arah. Untuk menuju ke satu tempat yang bisa ditempuh jalan kaki sejauh 500m misalnya, kalau naik mobil bisa jadi 2 km.
Kami merasa lega saat tiba di depan hotel. Supir ini ternyata sangat baik dan jujur. Koper kami diturunkannya hingga ke pintu hotel. Dia tersenyum sedikit saat kami memberikan tips.
Untunglah kamar apartment kami sangat bagus dan luas. Pas banget sebagai pelipur lara dari naik kereta sauna dan ditipu money changer. Kami menghabiskan waktu sore itu di kamar. Suami dan si Kakak senang mendapat koneksi wifi yang cepat. Si bungsu senang sekali mendapatkan siaran TV kabel berbahasa Inggris. Sebelumnya cuma dapat siaran TV lokal terus. Sedangkan saya …setelah memasukkan baju kotor ke mesin cuci, duduk bengong ditiup angin sepoi-sepoi, menikmati pemandangan kota kuno Prague dari balkon….
Mengenal kota Prague.
Prague memang kota yang cantik. Pas sekali kami menempatkan kota ini di tujuan terakhir, karena memang kota ini klimaksnya. Kota berumur ribuan tahun ini merupakan salah satu kota yang selamat dari kehancuran bom Perang Dunia. Sejarah mencatat, Prague didirikan tahun 1306 SM. Wuiiih … kuno banget ya. Makanya kota ini masuk dalam cagar budaya UNESCO.
Jalan-jalan di Prague harus berbekal peta kalau tidak mau nyasar. Tidak ada bis tumpuk Hop On Hop Off mengelilingi kota. Gak muat jalannya! Kotanya terbagi atas 9 bagian yang bisa dikelompokkan dalam 4 bagian utama yaitu:
- Prague 1 atau Old Town (Staré Město dan Josefov) – Pusat turis numplek blek di sini. Jalannya seperti labirin, tapi enak buat strolling dari satu tourist spot ke spot yang lain. Makanya harga hotel dan resto jadi agak mahalan.
- New Town (Nové Město) – Area komersial atau surga belanja. Turis yang nginep sini lebih sedikit, sehingga harga hotel dan resto jadi agak murah. Jalannya kebanyakan jalan gede beraspal, jadi agak kurang nyaman jalan kaki di sini.
- Lesser Town (Malá Strana) – Tempat ini tidak terlalu crowded dengan turis, juga bukan tempat belanja, tapi daerahnya lebih hijau banyak taman indah. Letaknya nyebrang sungai bersisian dengan Old Town.
- Sisanya adalah daerah yang disebut dengan lidah belibet, yaitu: Hradčany, Smichov Santoška, Vyšehrad, Vinohrady, dan Nusle mungkin paling sedikit jumlah turisnya. Kecuali di Hradčany, termasuk tourist spot, karena di situlah letaknya Prague Castle.
Hotel Rybna 9 yang kami tempati terletak di Stare Mesto. Memang penuh turis tapi deket untuk kemana-mana. Pemkot Prague menerapkan jam malam untuk beberapa area turis, termasuk area hotel saya. Jam malam artinya tidak boleh berisik atau party setelah jam 23.00. Jadi meski siang hari depan hotel bersliweran turis, malamnya cukup sepi untuk tidur nyenyak. Hanya terdengar sayup-sayup dentang lonceng gereja kuno …. aaah jadi kepingin balik ke Prague.
Lucunya, saking banyaknya turis dari beberapa negara, saya berpapasan dengan orang Jepang yang bekerja di ex kantor saya. Kecil sekali kemungkinan ketemu dengan kenalan, kok malah bisa ketemu orang kantor. Kami jadi ketawa geli dan foto bareng dengan wajah yang masih geli.
Meski Prague bisa dikelilingi dengan jalan kaki, lumayan gempor juga kalau jalan kaki terus. Cara yang asyik untuk keliling Prague adalah dengan naik sepeda. Cerita naik sepedanya, bisa diklik di halaman berikut.
One thought on “Meleleh di Perjalanan Menuju Praha”