Perjuangan Memasuki Budapest

Budapest ibu kota Hungaria, merupakan kota eksotis yang sangat ingin kami kunjungi. Negara yang beretnik suku Magyar ini, sudah ada sejak abad ke-9, dan mencapai masa kejayaannya di abad 15. Melewati sejarahnya yang panjang, Hungaria luluh lantak saat Perang Dunia. Bahkan Kerajaan Kristen ini sempat takluk di bawah kekuasaan Komunis Rusia sejak Perang Dunia II. Namun seiring dengan jatuhnya kekuasaan Rusia di Eropa pada tahun 1989, Hungaria berdiri sebagai negara Republik Parlemen dan perlahan mulai membuka diri sejak tahun 1990an.

Sekarang Hungaria seperti Sleeping Beauty yang baru bangun dari tidurnya yang panjang. Di semester pertama tahun 2015, Budapest mencatat kenaikan jumlah turisnya hingga 17,8%. Bandingkan dengan Indonesia yang mencatat kenaikan sekitar 4% di periode yang sama, sudah dianggap prestasi bagus, mengingat negara tetangga malah mengalami minus growth.

Sejak 2007, Hungaria atau Hungary masuk dalam negara-negara Schengen. Visa Schengen yang kami apply lewat kedutaan Jerman di Jakarta, berlaku juga untuk memasuki negara ini. Dari sisi kelayakan administrasi, tidak ada kesulitan untuk masuk Hungaria. Kami pun sudah mengantungi tiket kereta malam dari Munchen ke Budapest. Yang sulit adalah menjalaninya …

To Budapest via Night Train

Mengapa memilih naik Night Train? Yang jelas bukan dari sisi harga. Karena harga tiket night train dibanding naik kereta siang atau budget airline plus tarif hotel semalam, harganya sama saja. Pertimbangan kami saat itu dari sisi waktu. Selesai tour dari Salzburg, kami tiba di Munchen jam 8 malam. Pilihannya adalah:

  • Naik kereta pagi keesokan harinya, memakan waktu 8 jam perjalanan. Berarti kami kehabisan waktu seharian untuk perjalanan kereta.
  • Naik pesawat malam maka kami harus mengejar pesawat jam 10 malam dan tiba tengah malam di Budapest. Bukan waktu yang tepat untuk tiba di negara yang tidak kami kenal saat tengah malam.

Jadi pilihannya adalah kereta malam. Berangkat 23.36 dan tiba pukul 9.05. Bersamaan dengan kami istirahat tidur, kami sekaligus melakukan perjalanan ke negara lain. Begitu pemikiran saya saat itu.

Dengan badan yang lumayan lelah setelah tour di Salzburg, kami sudah berada di Munich Haupbahnhof pukul 22.45. Surprisingly suasana stasiun malam itu ramai sekali. Segerombolan pemuda Jerman berteriak bersahut-sahutan, seperti mau tawuran. Mereka bergerombol di depan toko roti atau di supermarket membeli bir. Saat kereta yang ditunggu datang, mereka berlarian sambil mendorong temannya. Sempat waspada juga akan kemungkinan chaos. Akhirnya kami mengerti, mereka ini adalah penonton sepak bola yang baru puland dari Allianz Arena. Fanatisme akan team bola favoritnya membuat mereka saling ejek, meneriakan yel-yel tertentu, tapi tidak sampai anarkis. Semakin banyak kereta yang datang mengangkut mereka pulang ke kota masing-masing, maka keramaian itu pun semakin berkurang.

Mun_Haupbahnhof

Akhirnya kereta kami datang pukul 23.15. Beberapa kali naik kereta di Jerman dapatnya kereta keren terus, maka saat kereta kami muncul, kami kaget karena keretanya kuno banget. Di Munchen Hbf, tidak ditemukan papan info gerbong nomor sekian ada di sebelah mana seperti di Dusseldorf Hbf. Jadi kami harus bertanya langsung ke “pramugara” kereta, yang nongol di pintu gerbong. Jawabannya tanpa kata, hanya melihat tiket kami lalu menunjuk ke belakang berulang-ulang. Mungkin maksudnya masih jauh di belakang. Nomor gerbong tertulis dengan stiker besar di bagian dalam gerbong. Nomor tersebut baru nampak bila kita berada tepat di depan pintu gerbong yang terbuka. Untunglah gerbong kami ada di tengah, gak sampai jauh ke belakang banget.

Perjuangan berikutnya adalah usaha ekstra untuk menaikkan koper ke atas gerbong. Lantai peron dan lantai gerbong tidak selevel. Ada perbedaan ketinggian 60cm. Setengah mati menaikkan koper berat ke atas gerbong. Saya menyerahkan proses menaikkan koper ke si Sulung dan ayahnya saja.

Kereta malam menyediakan pilihan kursi dan “sleepers”, yang menyediakan tempat tidur dalam satu kompartemen. Maksimal ada 6 dipan/sleeper dalam satu kompartemen. Tiga susun di sisi kanan, tiga susun di sisi kiri. Kita bisa juga membeli lebih sedikit sleepers dalam 1 kompartemen dalam jumlah genap, yaitu 2 atau 4. Semakin sedikit jumlah sleepers, maka harga per sleeper tentunya semakin mahal. Sesuai jumlah keluarga kami, saya membeli 4 sleepers dalam 1 kompartemen. Isinya tetap 6 dipan tapi 2 sleeper yang ditengah dalam posisi terlipat di dinding.

Bud_train_bawah
Sleeper di bagian bawah
Bud_train_atas
Sleeper di bagian atas

Ukuran kompartemen sangat kecil. Kemungkinan ukuran 2 x 2.5 m. Kebayang kan ruangan sekecil itu diisi 4 orang dan 3 koper besar. Koper bisa diletakkan di kolong dipan (yang ternyata gak muat untuk koper kami), atau di rak atas pintu (gak ada yang kuat ngangkat koper 20an kg setinggi itu), atau di ruang kosong diantara 2 dipan (ini pilihan yang memungkinkan). Ruang kosong ini sangat sempit dan merupakan satu-satunya tempat untuk kami bermanuver. Karena sudah terisi koper, maka kami harus meminimalkan gerakan.

Untuk naik ke sleeper bagian atas, ada tangga besi  di tengah ruangan.

Di atas masing-masing sleeper tersedia 1 sprei, 1 bantal, 1 selimut. Semuanya dalam keadaan bersih, bukan bekas pakai. Tapi warna aslinya sudah gak jelas warna apa. Karena sudah ribuan kali dipakai dan dicuci sepertinya. Tersedia juga 8 botol air mineral 500 ml di atas meja kecil.

Kereta belum bergerak padahal sudah jam 23.40. Kami menghabiskan waktu untuk memasang sprei, menata barang, agar kondisinya senyaman mungkin. Lalu bergantian ke toilet yang ada di kedua ujung gerbong. Kami tidak ingin malam-malam yang gelap harus ke toilet melewati lorong sepi.

Sepuluh menit setelah kereta berangkat, pintu kami diketuk oleh pramugara gendut bertampang lelah dan berpenampilan kurang rapi. Ia memeriksa tiket dan menanyakan sarapan besok mau minum teh atau kopi. Tiket seluruh penumpang ternyata dia ambil, dan akan dikembalikan besok pagi. Saya bersyukur sudah mempunyai copynya, bahkan sempat memfotonya dengan kamera hp.

Sebelum berlalu, pramugara itu mengingatkan untuk selalu mengunci pintu di bagian atas, tengah, dan bawah. Ya benar, kunci untuk satu buah pintu aja sampai ada 3, gede-gede pulak. Saya jadi bertanya-tanya, aman gak sih naik kereta ini? Saya simpan pertanyaan itu dalam hati, karena takut membuat anak-anak jadi khawatir. Apalagi anak-anak jadi diam di dipannya masing-masing. Tiba-tiba si Kakak memecah keheningan dengan pertanyaannya, “Ma…ini kereta buatan mana sih? Kok kayak kereta jaman perang dunia?” Suasana hening pun pecah dengan ketawa geli kami.

Salz_Hbf
Salzburg Haupbahnhof

Memang perjalanan ini tidak terlalu nyaman. Kasurnya tipis. Dipannya sempit. Posisi tidur kami pun bergeser ke atas, ke bawah, kiri dan kanan sesuai arah belok kereta. Semakin malam ACnya semakin dingin. Tapi saya bersyukur bisa memberi pengalaman seperti ini buat anak-anak. Jalan-jalan tidak selalu nyaman, yang penting kita selalu bersama dalam pengalaman seru.

Jam 2 pagi saya terbangun karena cahaya yang terang dari jendela. Saya memang sengaja tidak menutup “tirai” jendela, karena merasa ngap berada di ruangan kecil yang tertutup semua. Ternyata kami berhenti di stasiun Salzburg. Peronnya kelihatan bersih dan modern. Lama juga kami berhenti di situ. Saya sudah keburu terlelap kembali sebelum kereta beranjak meninggalkan Salzburg.

Bud_BreakfastJam 7 saya terbangun lagi karena cahaya matahari menyinari wajah. Tidak lama pintu kami diketuk oleh pramugara semalam. Ia menyerahkan kembali tiket kami, sekaligus membawakan sarapan di atas nampan. Isinya hanya 4 croisant dalam kemasan dan 4 minuman hangat dalam gelas kertas. Porsinya kecil cuma cukup untuk ngotorin gigi. Rasa roti dan minuman itu jauuuuh dari istimewa … tapi sarapan kami menjadi istimewa karena kami ramai berbagi cerita pengalaman semalam sambil sarapan.

Good Morning Budapest !

Jam 9 kami tiba di Budapest. Stasiunnya sekuno keretanya, seperti stasiun kereta Cirebon. Telinga kami mulai beradaptasi dengan bahasa aneh yang baru pertama kami dengar, Bahasa Hungaria. Tapi sebagai kota yang sangat berkembang pariwisatanya, Bahasa Inggris di hotel, restaurant dan tempat wisata bisa dikuasai dengan baik oleh front linernya.

Dari stasiun, saya minta fasilitas jemput dari hotel. Berdasarkan hasil browsing, taxi di Budapest perlu diwaspadai karena banyak yang tidak berargo dan sering menggetok turis dengan harga tinggi. Hanya taxi warna kuning saja yang berargo dan bisa diandalkan turis. Tapi sekilas pengamatan saya, taxi kuning ini belum banyak berseliweran di jalan.

Bud_Keleti
Stasiun Budapest Keleti

Tempat kami menginap adalah serviced apartment yang cozy, di 7Seasons Hotel Apartment. Ini adallah hotel kami termurah selama tour ke Eropa Tengah, tapi merupakan apartment yang paling strategis dan sangat lega. Letaknya sangat  dekat dengan halte bus utama, Deak Ferenc Square. Depan hotel ada banyak warung makanan, groceries store 24 jam dan tempat menukar valas dengan kurs yang sangat bagus.

Meski masuk negara Schengen, Hungaria masih belum mau menggunakan Euro sebagai mata uang resminya. Menurut analisa ekonom Hungaria, penggunaan Euro akan menurunkan investasi luar negri. Ya, memang nilai barang di Hungaria relatif lebih murah dibanding negara Eropa lainnya. Mata uang mereka adalah Forint disingkat HUF. Kurs pada Juli 2015, 1 HUF = IDR 50 perak sajah. Sedangkan dalam 1 EUR = 315 HUF. Oh ya jangan pernah menukar valas di Stasiun Budapest Keleti, harganya mahal benar-benar unreasonable!

Karena tidak bisa early check in, kami menitipkan koper di concierge dan bersiap untuk pergi lagi. Sempat cuci muka, gosok gigi dan ganti baju di kamar mandi di ruang tamu hotel. Harus kelihatan bersih lah, karena kami akan ke gereja di hari Minggu yang cerah itu. Sebelumnya saya sudah mencari-cari gereja Presbyterian yang ibadahnya berbahasa Inggris. Jaraknya sekitar 1,5 km dari hotel, tapi kami semangat berjalan kaki ke sana.

Bud_Church

Gereja St. Columba’s Church of Scotland bertempat di bangunan kuno yang besar. Tapi jemaat yang ikut kebaktian pagi itu gak sampai 50 orang. Kebanyakan pendatang dan turis seperti kami. Selesai kebaktian kami disuguhi teh rasa cherry dan biscuit. Ingin berbincang-bincang dengan pendetanya, tapi 2 orang turis Amerika memonopoli pembicaraan. Sehingga kami pun segera melipir keluar.

Keliling Kota Budapest

Bisnis pariwisata di Budapest memang berkembang pesat. Tak kurang dari 5 perusahaan yang mengelola bus Hop On Hop Off (bandingkan dengan Munich yang hanya ada 2). Ada yang warna merah, merah-kuning, biru, ijo gonjreng, bahkan ada yang pink. Sales bus HOHO ini juga banyak di pinggir jalan menawari tiket ke turis dalam Bahasa Inggris yang lumayan baik. Mereka saling bersaing berebut pelanggan. Sepertinya harganya bisa ditawar, karena tingginya persaingan.

Saya sendiri sudah membeli tiket perusahaan “Big Bus” secara online, seminggu sebelum kami pergi. Kenapa milih Big Bus? Simpel aja, karena websitenya cukup informatif dan males banyak browsing. Kebetulan saja perusahaan yang bisnya paling banyak adalah Big Bus dan Giraffe. Di halte bus dekat gereja, kami menghampiri salah satu sales Big Bus. Dengan ramah ia memvalidasi print out tiket dengan alat EDC yang dibawanya, lalu memberikan peta rute bus, 1 buku voucher diskon yang berlaku di beberapa toko dan earphone baru untuk mendengarkan recorded guide. Segera kami naik ke bus yang datang 5 menit kemudian.

Kami turun pertama di Hero Square atau Hősök Tere. Tempat ini adalah salah satu alun-alun terkenal di Budapest. Ada patung 7 pemimpin suku Magyars dan beberapa pemimpin nasional lainnya yang dibangun tahun 1896. Kok jadi teringat patung 7 Pahlawan Revolusi yang kita punya ya….

Bud_HeroSquare

Panas hari itu sangat terik melebihi panasnya Jakarta. Sempat melihat temperature digital di salah satu toko, suhu mencapai 40oC. Memang seminggu ini, heatwave sedang melanda Eropa. Meski sudah pakai cengdem, tapi mata rasanya masih silau saat berfoto di tengah Hero Square. Mungkin dipengaruhi juga dengan tidur yang kurang nyenyak di kereta, maka panas yang bikin perih di kulit itu membuat kami lemas. Si Bungsu mengeluh mual dan bibirnya nampak pucat seperti orang mau pingsan. Segera kami naik bis lagi dan memutuskan kembali ke hotel untuk beristirahat dulu.

Sore jam 6 kami mulai jalan lagi. Matahari masih terang benderang, tapi sudah tidak terik mengigit kulit. Setelah mencari makan malam, kami ikut Night Tour gratis dari Big Bus. Tour ini mulai jam 20.45, saat matahari sudah mulai tenggelam dan berakhir sejam kemudian. Tujuannya adalah berkeliling kota melihat cantiknya Budapest di kerlip lampu. Usaha Pemerintahnya yang niat banget mendandani kota dengan tata lampu yang indah, memang perlu diacungi jempol. Gedung Parlemen, yang merupakan gedung terbesar dan tertinggi di Budapest, terlihat jauh lebih megah dan cantik di malam hari.

Bud-parliamentnight

Banyak turis berminat dengan tour ini. Bus hanya berjalan 1 putaran. Jadi kalau kita turun di satu tempat, silakan mencari transportasi umum untuk kembali ke hotel. Tapi di tempat tertentu yang bagus untuk foto, bis berhenti 5-10 menit untuk memberi kesempatan turis berfoto-foto.

Oh ya, bis yang kami naiki ini entah kenapa tidak dinyalakan AC-nya. Padahal malam itu puanasnya minta ampun. Serasa naik Metromini jurusan blok M yang panas dengan aroma keringat yang campur aduk dengan parfum. Rasanya badan sengsara banget deh di hari pertama di Budapest. Tapi sebaliknya, mata kita dimanjakan dengan pemandangan yang indah. Melihat cahaya lampu kota Budapest adalah cara yang indah untuk menutup perjalanan hari itu.

Advertisement

Author: javanicblue

https://javanicblue.wordpress.com/about/

12 thoughts on “Perjuangan Memasuki Budapest”

  1. Hi Sinta. Di gerbong kami sih penumpangnya kelihatan wajar, gak kelihatan sangar/seram sama sekali. Kompartemen sebelah kanan isinya satu keluarga dari Cina dengan anak2. Kompartemen sebelah kiri rombongan pemuda/i bule backpacker, yang tidak kami ketahui dari negara mana.

    Like

  2. mba mau tanya, kalu biaya di budapest relatif murah atau sama mahal seperti negara eropa lainnya? saya denger ktnya mirip di jkt kalau di budapest, bener ga mba

    Like

    1. Hi Yuyu. Iya bener. Biaya di Budapest dan Praha relatif lbh murah dibanding negara di Eropa Barat. Biaya makan di restaurant sekitar Rp 60-70ribuan. Sama lah dengan biaya ngemall dan ngafe di Jakarta. Hotel Apartment di Budapest dengan kamar yang luas biayanya lebih murah dari hotel di Jermat yg sempit banget.

      Like

    1. Semua kota yg banjir turis umumnya banyak copet. Budapest rasanya masih aman. Praha agak rawan, tapi masih lebih rawan Paris. Yang penting selalu berhati-hati, terutama di tempat yg turisnya berjubel. Kalau bisa survive di Blok M dan Kampung Rambutan, maka anda akan survive juga di sana 😀

      Like

  3. Halo Mba,
    Terima kasih tulisannya cukup membantu untuk kami yang lagi ubek2 info cara mencapai Budapest dari Prague. Mau nanya, kalo mau beli tiket night train apa harus on the spot ya? Karena saya cari di website Ceske Drahy, jam untuk night train tidak tersedia, padahal di Go Euro ada…

    Like

    1. Halo juga. Cerita saya di atas perjalan dari Munich ke Budapest. Beli ticketnya di website kereta Jerman http://www.bahn.de. Kalau berangkat dari Budapest, baiknya beli dari website kereta Hungaria http://www.mavcsoport.hu. Ada kok kereta EN (Euro Night) yg ada sleepernya. Kalau dari Pra ke Bud baru beli di website Ceske Drahny. Beli on the spot juga bisa di International Office di stasiun. Tapi waktu summer antriannya lumayan panjang.

      Like

  4. Hallo Mba,

    Terima kasih ulasannya membuka pencerahan.
    Saya berencana berangkat 4 dewasa dan 1 anak2 dengan kurleb bawa 4 koper. Apakah taxi di Budapest dan praha bisa menampung, jika tidak apakah ada alternatif lain (dari stasiun/airport menuju apartemen/hotel?)

    Like

    1. Hallo juga. Apakah taxinya cukup, jawabnya sangat relatif, krn tgt anaknya umur berapa dan kopernya sebesar apa. Kami berempat dengan 3 koper medium+1 backpack muat dalam taxi jenis station wagon 7 seater, yg kursi belakangnya dilipat jadi bagasi. Sedangkan mobil antar jemput hotel di Budapest kebetulan mobil besar spt VW Caravelle. Alternatif lain bisa naik trem, bis atau subway. Tapi karena Budapest dan Praha adalah kota kuno yang banyak jalan kecil berliku-liku yang tidak dicapai oleh transportasi masal umum, maka jalan kakinya lumayan jauh menuju hotel. Apalagi di Praha yang masih mempertahankan cobble stone jaman dulu…jalannya jadigrunjalan 😀 Jadi pilihan terbaik kalau bawa koper mnrt saya sih tetap taxi, bisa langsung berhenti depan hotel.

      Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: