Dengan bus hop on hop off, rute kami diawali menuju ke kekunoan Munich. Perjalanan ke Nymphenburg Palace atau Istana Nymph memakan waktu 20an menit. Lokasinya memang agak di pinggir kota. Kebetulan kami dapat live guide tour yang sudah oma dan napasnya agak tersengal-sengal. Jadi kasian dengerin si Oma menceritakan tentang sejarah Munich. Saya justru lega setelah dia berhenti cerita, karena dada saya rasanya jadi ikutan sesak napas.
Saat bis memasuki halaman Istana Nymph, hampir seluruh penumpang bus berdecak kagum melihat cantiknya taman luas yang tertata rapi. Rumput hijau terhampar seperti karpet. Bunga cantik warna-warni memagari jalan kerikil. Ditengah-tengah taman ada kolam besar dengan beberapa ekor angsa yang berenang anggun.
Istana Nymph mulai dibangun tahun 1664, untuk menyambut kelahiran seorang anak yang sudah dinantikan selama 10 tahun oleh pasangan bangsawan Bavarian Elector, Ferdinand Maria dan istrinya Henriette Adelaide of Savoy. Semula Sang Bangsawan memanggil arsitek dari Italia, interior designer dan Lansekap taman dari Perancis, untuk membangun istana ini. Namun dengan bergantinya kepemilikan, sentuhan design Inggris, Spanyol dan perabotan dari China pun meramaikan keseluruhan design istana dan tamannya. Tercatat King Ludwig II of Bavarian lahir di istana ini. Beberapa interior design yang fenomenal pada jamannya, misalnya Great Hall dan Hall of Mirrors (Amalienburg), dapat dilihat dalam bentuk aslinya dan menjadi salah satu warisan budaya terindah Jerman.


Melihat cantiknya istana ini dari luar dan romantisnya sejarah di baliknya, saya dan si Bungsu ingin sekali masuk ke dalam istana. Untuk masuk dikenakan biaya sebesar 11,5 Euro/orang. Gantian suami berpikir, melihat mahalnya tiket dan pendeknya waktu kami, maka kunjungan ke dalam istana ditiadakan. Jiwa ke-princess-an saya dan si bungsu langsung kecewa. Kami berdua harus puas hanya mengintip sebagian kecil interior ruangan dari pintu kaca balkon.
Dari ruangan yang kami intip nampak interior ruangan yang penuh ukiran bersepuh emas tampak megah memanggil-manggil. Memang para pria di keluarga kami kurang romantis. Jadilah saya dan si Bungsu bergegas meninggalkan dunia dongeng Schloss Nymphenburg menuju Kekinian Munich.