Setelah selesai urusan visa US di akhir Agustus, saya dan si Bungsu berangkat ke USA di awal November 2017. Kami berangkat hanya berdua saja untuk perjalanan panjang selama 25 jam. Tujuan utama saya ke Amrik adalah mengantar si Bungsu, cewek, yang masih kelas 2 SMA untuk lomba debat. Rombongan grup sekolahnya sudah berangkat duluan beberapa hari sebelumnya. Si Bungsu terpaksa berangkat terpisah karena ada beberapa kegiatan yang harus diikuti sebelum berangkat. Dan supaya ada alasan juga emaknya bisa nganterin 😀
Untuk perjalanan panjang seperti ini, harus dipastikan naik pesawat yang nyaman. Makanannya enak, kursinya nyaman gak sempit dan inflight entertainment-nya banyak. Transit timenya cukup (gak kelamaan dan gak kecepetan) dan bandaranya bagus. Jadilah kami naik Emirates, yang kebetulan sedang promo dengan harga seribu dollar kurang dikit. Harga itu masih dipotong poin dari miles skywords yang kami kumpulkan dari penerbangan sebelumnya.
Tulisan ini bukan review mengenai Emirates ya. Tapi mau gak mau mengulas juga tentang maskapai ini.
Selain karena sudah “kenal” Emirates, pilihan waktu tiba di Amerika juga menjadi pilihan saya. Saya cari penerbangan yang tiba di JFK masih pagi. Sebagai mahluk yang tidak GPS build-in (alias suka nyasar), mencari alamat di terang benderang mengurangi kepanikan kalau-kalau salah belok. Selain itu saya membayangkan The Big Apple, metropolitan yang hingar bingar sebaiknya saya lihat pertama kali sebelum malam tiba.
Saat tiba di Bandara Soeta Cengkareng, kami melewati proses check in dengan cepat karena saya sudah online check in 48 jam sebelumnya. Langsung masuk loket khusus dan tidak perlu ikut antrian yang mengular. Loket untuk yang sudah online check in antriannya sangat pendek. Saya hanya menunggu 1 keluarga di depan saya. Oh ya aturan bagasi Emirates yang free sekarang menjadi 2 x 23 kg (sebelumnya 1 luggage max 30 kg)
Dari Jakarta, pesawat berangkat menjelang jam 6 sore. Seingat saya tidak ada satu bule pun di pesawat ini. Kebanyakan orang Indonesia dan disusul ras India. Sebagian besar penumpang tujuannya hendak umroh atau wisata rohani Kristen.
Terus terang 8 jam perjalanan Jakarta – Dubai kali ini terasa kurang nyaman. Bukan disebabkan oleh pesawatnya, tapi lebih ke penumpangnya. Sebelum pesawat take off sudah tercium bau minyak angin dan wewangian yang bikin mual. Setelah lampu sign seatbelt dimatikan, mulailah sebagian penumpang membuka bagasi kabin mengoprek-oprek tasnya atau wira-wiri ke toilet. Mungkin karena berangkat sore ya, jadi belum ada yang ngantuk. Sibuk seliweran di aisle. Rasanya seperti naik bis ke Kampung Rambutan. Belum lagi penumpang sebelah saya. Seorang Bapak indiahe berperut gendut yang duduk menguasai rest arm. Saya terpaksa harus meletakkan bantal di pinggang karena sikutnya gak tau diri menyikut pinggang saya terus.
Dubai di Tengah Malam
Saat tiba di Bandara Dubai menjelang tengah malam, mata rasanya sepet banget. Mana dari pesawat harus naik bis/shuttle lumayan lama ke Terminal Utama. Setelah terayun-ayun di bis (karena berdiri), dengan agak limbung saya antri untuk proses imigrasi dan security check. Setelah itu saya bergegas mencari nomor pesawat saya ke JFK di TV-TV pengumumuan yang banyak tersebar.
Bandara Dubai memang tidak pernah tidur. Toko dan restaurantnya tetap buka, penumpang yang transit juga banyak di tengah malam begini. Tapi karena ngantuk, saya tidak tertarik mampir ke toko-tokonya. Lebih baik saya menunggu di Gate keberangkatan saja, walaupun transit time kami lumayan lama, 3 setengah jam.
Rasanya belum lama saya goler-goleran di bangku depan Gate boarding, tiba-tiba proses check in sudah dibuka. Lho masih 2 setengah jam lagi dari waktu boarding, kok sudah dipanggil? Saya dan beberapa penumpang sampai memastikan ke petugas bahwa ini memang Gate pesawat yang benar. Dan memang kami tidak salah tempat.
Ternyata ini bukan boarding sembarang boarding. Ada proses interviewnya! Lama tidaknya proses interview tergantung jawaban yang kita berikan. Pertanyaannya mirip seperti proses interview di Kedutaan Amerika saat apply Visa. Misalnya, ke Amerika ngapain, sama siapa, berapa lama, dll. Lalu pertanyaan tambahan berkisar seputar bagasi. Siapa yang packing bagasi, bawa berapa bagasi, ada barang titipan orang lain gak dalam bagasi, dll.
Saya sih menjawab lancar semua pertanyaan….eeeh ndilalah si Bungsu menjawab “Yes” saat saya menjawab “No” untuk pertanyaan “bawa barang titipan gak”. Naluri mak-mak saya membuat saya langsung melotot ke si Bungsu. Panik. Saya gak tau dia bawa barang titipan, karena dia ngepack kopernya sendiri. Untunglah si Bungsu yang masih remaja ini tetap tenang menjelaskan. Barang titipannya berupa hadiah ulang tahun untuk temannya teman yang dia kenal juga, isinya mug lucu, dan dia melihat temannya membungkus mug itu. Hiiih … gara-gara mug titipan itu kami jadi lumayan lama diinterogasi.
Lega rasanya setelah diijinkan lewat. Kami turun melalui escalator untuk menuju ruang tunggu. Baru saja lega, mendadak saya waspada lagi. Loh kok masih ada pemeriksaan? Beberapa kali ke Eropa transit Dubai, gak ada tuh pemeriksaan berlapis-lapis begini.
Petugas keamanan Amerika menyambut kami depan eskalator dan memeriksa boarding pass kami. Tiba-tiba kami dipisah ke dua tempat pemeriksaan yang berbeda. Saya melewati tempat pemeriksaan terbuka yang lebih informal. Sedangkan si Bungsu diarahkan ke tempat pemeriksaan khusus. Saya tidak sempat bertanya kenapa kami mendapat perlakuan berbeda, petugas sudah memaksa saya maju ke tempat yang ditunjuk.
Petugas yang memeriksa saya adalah wanita Afro-American tanpa senyum. Ia menyuruh saya membuka tas dan mengeluarkan semua barang elektronik, mengusap hape saya dengan kapas khusus (deteksi radiasi logam tertentu mungkin), dan memeriksa badan dengan detektor logam yang biasa dibawa satpam di mall. Tiga menit usai pemeriksaan, Saya segera duduk persis depan pintu keluar tempat pemeriksaan khusus sambil menunggu cemas si Bungsu keluar. Saya perhatikan beberapa orang yang keluar dari tempat pemeriksaan khusus tersebut tidak stereotype. Laki-laki agak lebih banyak dari perempuan. Usia produktif jauh lebih banyak dari pada usia tua dan sekolah (sepertinya anak saya termasuk yang paling muda). Kulit putih dengan rambut blonde, kulit coklat rambut hitam legam, kulit hitam kepala botak, kulit kuning rambut dicat pink (beneran ada), mixed ras …tidak ada yang spesifik.
Selang sepuluh menit si Bungsu cengengesan keluar dari tempat pemeriksaan khusus. Sambil cerita ia browsing mencari tahu kepanjangan SSSS (Masih ada free wifi ruang tunggu). Ternyata perlakuan khusus diterapkan ke si Bungsu karena di boarding passnya ada print out kecil di tengah bawah “SSSS” kepanjangan dari Secondary Security Screening Selection. Gak tau kapan tanda itu diprint. Boarding pass ini sudah kami dapatkan di Jakarta. Apakah tanda itu sudah diprint secara random sejak dari Jakarta atau baru diprint saat interview di boarding gate, gara-gara ada barang titipan? Kami tidak tahu.
Si Bungsu bercerita. Saat dia masuk ke tempat pemeriksaan, petugasnya tersenyum lebar. Mungkin karena melihatnya hanya seorang gadis remaja innocent. Si Bungsu harus membuka sepatu, jaket, dan mengeluarkan seluruh isi tasnya, lalu memasukkan sepatu dan seluruh barang bawaan ke screening x-ray dengan belt berjalan. Lalu ada body screening dan telapak tangannya diusap kapas khusus. Begitu juga seluruh barang eletronik yang dibawa, diusap pakai kapas itu. Si Bungsu melalui semua pemeriksaan itu dengan fun, karena merasa lucu aja dirinya bisa terpilih masuk ke jalur khusus.
Jadi kalau ada dari pembaca yang boardingnya tertera SSSS, siap-siap saja melalui pemeriksaan yang lebih ketat. Katanya sih SSSS diterapkan secara random oleh pihak imigrasi Amerika Serikat. Info lebih lanjut bisa dilihat di sini.
Perjalanan Dubai – JFK New York

Untunglah 14 jam penerbangan dari Dubai ke JFK New York dengan pesawat besar double decker Airbus 380 terasa sangat nyaman. Semua kelas ekonomi ada di lantai bawah, sedangkan first class dan business class ada di lantai atas. Bunyi desingan mesin pesawat sangat lembut. Air pressure cabin juga terjaga sangat baik. Jadi tidak terasa kuping budek tiba-tiba. Penumpang di sebelah si Bungsu juga gak neko-neko. Seorang Ibu Afro-American yang tidur manis sepanjang perjalanan.
Nonton film di A380 memang lebih nyaman. Layarnya lebih lebar, touchscreennya pun lebih sensitive. Belum lagi gambarnya lebih jernih. Harusnya saya bisa puas nonton banyak film selama 14 jam. Tapi belum juga selesai satu film, saya sudah mulai tertidur.
Sebenarnya Emirates menyediakan free wifi on boards. Bisa sih hape saya connect ke wifi, tapi internetnya leletnya setengah mati. Untuk ngirim satu baris WA message aja gak bisa delivered. Malah ditawarin untuk bayar sekian dolar kalau mau speed yang lebih cepat. No thanks. Saya sudah bahagia menikmati yang gratis-gratis dari Emirates, gak mau nambah biaya lagi.
Thanks mbak infonya bermanfaat sekali buat saya yg akan ke JFK akhir tahun ini naik EK juga. Boleh tahu umur si Bungsu berapa ya? Saya nanti pergi dengan anak juga umur 13 dan 9 thn.
LikeLike
Si Bungsu umur 16 thn. Memang kalau saya baca di wikipedia, SSSS diberlakukan acak ke anak2 (minor) baru mulai Sep 2017. Disiapkan aja mbak anak2nya supaya tetap tenang sekiranya kena SSSS
LikeLike