“Ma…aku ketrima student exchange ke Jerman. Berangkatnya awal Januari,” demikian laporan si Sulung santai tanpa beban, seperti mau pergi ke Bogor. Saya melongo membayangkan persiapan yang kurang dari 4 bulan. Langsung browsing secepat kilat ke blog anak-anak Indonesia yang sekolah di Jerman membantu persiapan si Sulung. Sementara si sulung sibuk mengejar dosen untuk mencocokan mata kuliah yang bisa diambil di Jerman, lalu lanjut sibuk dengan UTS.
Untunglah info mengenai persiapan studi di Jerman cukup beragam dan ada yang sangat detail penjelasannya. Tapi saya tidak menemukan info studi di Jerman untuk exchange selama 1 semester seperti kasus si Sulung. Sehingga persiapan yang kami lakukan hampir sama dengan yang mau sekolah 4 tahun.
Si Sulung akan exchange ke kota Koln atau Cologne, Germany. Liburan kami ke Cologne saat summer 2015 lumayan membantu mendapat gambaran kota tersebut meski hanya kami kunjungi 1 hari. Saya merasa yakin kami bisa mengurus sendiri tanpa agen pendidikan yang biayannya muahal banget.
Berikut ini yang saya lakukan untuk membantu si Sulung sebelum keberangkatan.
1. Mencari Tempat Kost.
Mencari tempat kost di beberapa kota tujuan studi di Jerman bukan perkara mudah. Jumlah mahasiswa yang mau kost lebih banyak daripada tempat yang tersedia. Kalau uang berlimpah, mungkin tidak sulit mendapatkan apartment mulai dari 400 Euro hingga 800 Euro per bulan di pusat kota dengan fasilitas memadai. Harga idaman untuk mahasiswa umumnya berkisar di 200 hingga 300 Euro.
Ada beberapa type tempat kost. Yang banyak diburu karena harga murah dan fasilitas lengkap adalah Studentenwohenheim alias asrama mahasiswa yang dikelola pemerintah. Karena jumlahnya yang terbatas, Asrama diprioritaskan untuk mahasiswa dari luar kota yang menyandang difabilitas atau mahasiswa yang membawa anak atau mahasiswa yang mendapat beasiswa. Berdasarkan lamanya tinggal, maka mahasiswa exchange (short term) dan makasiswa tahun pertama kuliah menjadi prioritas utama juga.
Jenis kamar asrama ini sebenarnya berbentuk apartemen 2-4 kamar. Penghuni akan share 1 dapur dan 1 kamar mandi. Setiap kamar punya kunci sendiri. Teman satu apartemen tidak bisa memilih, karena ditentukan oleh pengelola. Umumnya sewa kamar sudah termasuk utilities seperti listrik, gas dan air. Bahkan ada juga yg termasuk internet.
Pendaftaran asrama bisa dilakukan secara online. Browsing saja di Google kata studierendenwerk + nama kota, maka akan muncul web resminya di baris 1-2 hasil pencarian. Khusus kota Koln web resminya ada di www.kstw.de. Klik menu “Habitat” untuk melihat list dorm. Google translate menjadi sahabat terbaik untuk membuka website Jerman. Saya lebih senang membaca terjemahan dari Jerman ke Inggris daripada Jerman ke bahasa Indonesia. Terjemahan Bahasa Inggris lebih mudah dimengerti.
Cara pendaftarannya cukup cepat dan mudah. Tapi bukan berarti kalau sudah mendaftar dan mendapat konfirmasi pendaftaran kita bisa bernafas lega. Daftar tunggu yang panjang membuat jawaban kepastian kamar tak kunjung datang hingga menjelang hari keberangkatan. Benar-benar bikin deg-degan.
Sambil menunggu kepastian kamar dari KSTW, mulailah perhatian saya beralih ke jenis kost kedua, WG atau Flatshares atau sharing apartment. Konsepnya sama dengan asrama mahasiswa yaitu sharing apartemen 2- 4 kamar atau ada juga landed house 8 kamar. Bedanya yang ini dikelola perseorangan/privat. Umumnya tenant yang lebih dulu menyewa di apartemen itu (bisa mahasiswa bisa karyawan) mencari teman baru pengganti teman lama yang pindah agar cost untuk sewanya bisa ditanggung bersama. Biaya sewa biasanya terdiri dari sewa kamar dan iuran pembayaran biaya utilities seperti listrik dan gas. Iklan kamar kosong model seperti ini bisa dicari online di www.wg-gesucht.de. Syukurlah website yang ini tersedia dalam bahasa Inggris.
Seminggu sebelum kedatangan ke Jerman, saya banyak mengirim email ke para pengiklan kamar. Jenis flatshares seperti ini cepat sekali laku, kalau harga dan orangnya cocok. Email calon penyewa merupa screening awal Pengiklan. Bila dinilai email kita “kena” dihati, maka umumnya mereka mau ketemu dulu dan memastikan kalau chemistry sebagai teman memang cocok. Jadi kalau kirim email jauh-jauh hari percuma juga. Mereka tidak akan menyewakan kamar tanpa bertemu sebelumnya.
Hati-hati dengan penipuan. Para penipu mengaku pengiklan dan mengincar mahasiswa asing. Mereka memberi janji manis seperti, kamar cukup luas dan bagus, perabotan dapur lengkap dan bersih, akses apartemen dekat stasiun bis/kereta…pokoknya ideal banget. Modusnya akan kelihatan saat mereka mau menyewakan tanpa ketemuan lebih dulu, tapi minta jaminan berupa data personal seperti scanning passport dan ada juga yang minta pembayaran DP. Umumnya mereka memakai email dengan nama aneh dan menggunakan broken English. Meski ada juga yang pakai nama wanita (supaya kelihatan innocent barangkali) dan bahasa inggris yang baik. Lupakan saja yang model begini. Jangan sampai memberikan Data Diri dan uang sepeser pun untuk pengiklan seperti ini.
Selain kedua cara itu gunakanlah relasi anda. Cobalah kontak PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) di kota tujuan. Cari websitenya atau Facebooknya dengan keyword PPI + kota tujuan. Memang tidak semua PPI aktif dan cepat tanggap. PPI di Koln termasuk yang tidak aktif. Tapi saya berhasil kontak keponakan dari kakak ipar saya yang kuliah di Berlin dan ia punya teman mahasiswa Indonesia di Koln yang bersedia membantu mencarikan. Hiiih panjang ya rantai hubungannya. Yang penting usaha. Ditambah lagi kontak dengan sahabat keluarga yang asli Jerman, yang dengan senang hati membantu mencarikan kost buat si Sulung. Seapes-apesnya tidak dapat tempat, mereka membuka pintu rumahnya buat si Sulung untuk sementara tinggal di Solingen, sekitar 1 jam perjalanan ke Koln.
Perjuangan mencari tempat kost ini adalah yang terberat dan tersulit. Sampai pada hari pertama kami menjejakkan kaki di Jerman, kami belum mendapat tempat kost. Cerita mencari kost di jerman, saya ceritakan di halaman berikut ini. Namun demikian, harus tetap yakin dan berdoa bahwa anak kita akan dapat tempat kost.
2. Persiapan Finansial
Meskipun si Sulung belum selesai diskusi dengan dosennya untuk pilihan mata kuliah yang diambil di Jerman, kami sudah menyiapkan anggarannya.
- Yang utama adalah dana untuk biaya hidup anak selama setahun minimal sebesar 8040 Euro sesuai dengan ketentuan Deutsche Bank (DB). Dana ini disimpan dalam rekening DB dan anak hanya bisa mengambil 1/12 dari tabungan tersebut untuk setiap bulannya. Meskipun anak hanya kuliah 1 semester, tapi ketentuan membuat blocked account di Deutsche Bank minimal setahun. Tentunya dana sisa nantinya bisa ditarik kembali.
- Yang kedua biaya Pesawat ke Jerman PP.
- Yang ketiga biaya orangtua yang menemani anak selama 10 hari pertama di Jerman. Karena mengurus segala sesuatunya sendiri, kami merasa perlu si Anak didampingi dulu. Nah biaya ini besarnya tentative, tapi masih jauh lebih murah daripada menggunakan agent. Belakang saya menyadari 10 hari pendampingan terasa mepet sekali. Rasanya 14 hari lebih longgar, apalagi kalau berangkat belum dapat kost sama sekali.
Adapun biaya sekolah sebagai mahasiswa exchange di Jerman tetap dibayar seharga uang kuliah biasa di universitasnya yang di Jakarta. Jadi tidak saya masukkan dalam biaya tambahan.
Proses membuka rekening di Deutsche Bank untuk Blocked Account saya jalankan duluan meskipun kepastian berangkat masih 50%. Karena proses pembuatannya lumayan birokratis dan lama sekitar 1 bulanan. Pengalaman membuat Blocked account saya ceritakan di sini. Adapun proses transfer dana ke Blocked account anak, baru saya lakukan setelah anak mendapat surat penerimaan (Letter of Acceptance) dari universitas di Jerman. Harus pasti dulu dong….jangan sampai sudah transfer eh ternyata batal keterima.
Transfer dana ke DB tidak bisa dilakukan di DB cabang Jakarta. Semula saya kira, di situ bisa menghemat biaya transfer. DB Jakarta hanya melayani transaksi korporasi bukan personal banking. Jadi proses transfer dilakukan dari bank rekening Rupiah, misalnya BCA. Biaya transfer sebesar Rp. 50.000 ditambah 30 Euro per transaksi. Lumayan mehong.
3. Persiapan Fisik dan Psikis.
Namanya orangtua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya.Meski secara mental anak saya sangat siap untuk sekolah di Jerman, tapi ternyata mental orangtuanya yang belum siap. Jadi saya merasa perlu banyak memberikan pembekalan yang mungkin terlalu berlebihan buat anak.Sampai si Sulung bete dengernya.
Supaya anak tetap sehat, saya cek imunisasi untuk anak. Sebagian besar vaksin wajib di negara tropis, sebenarnya tidak diperlukan di negara maju. Saya hanya berikan vaksin influenza, mengingat si Sulung kalau sudah flu berat gampang kumat sinusitisnya. Seorang kerabat menyarankan vaksin Pneumonia juga. Tapi dokter langganan keluarga, tidak menyarankan vaksin itu. Sedangkan daftar vaksin lainnya sudah lengkap saat ia menjelang remaja. Sekantong obat untuk penyakit yang sering muncul di si Sulung, juga saya bekali termasuk balsem dan minyak kayu putih khas Indonesia hehehe….
German loves paper works. Jadi saya sudah siapkan satu set fotocopy dokumen penting di koper dan 1 set ditinggal di rumah. Sedangkan 1 set dokumen asli masuk backpacknya. Oh ya foto biometric ukuran 3,5 x 4,5 cm sebanyak 10 lembar dengan background putih juga perlu untuk mengurus berbagai ijin sekolah dan ijin tinggal.
Skill hidup sendiri juga diajarkan. Misalnya cara memasak praktis berdasarkan bahan-bahan di LN, cara mencuci baju dengan mesin cuci front loading termasuk memisahkan cucian putih, warna, jeans dan bahan mulur seperti sweater. Banyak hal lain yang diajarkan ….dan mungkin masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Pada akhirnya pelajaran berharga yang akan diingatnya adalah learning by doing saat dia sudah tinggal sendiri. Siap-siaplah orangtua memantau dari rumah dengan emosi yang teraduk-aduk antara kesal, ikut senang, sedih, terharu, dan bangga.
2 thoughts on “Persiapan Anak Sekolah di Jerman (Sebelum Berangkat)”