Catatan: Berikut ini bukan catatan perjalanan, tapi catatan hati seorang Ibu di perjalanannya dari Cologne ke Amsterdam.
Persiapan untuk si Sulung sekolah di Jerman sepertinya sudah beres. Sehari sebelum pulang, saya melakukan re-check dengan si Sulung apalagi yang harus dia lakukan. Mulailah beberapa wejangan keluar. Seperti jangan lupa deadline perpanjangan visa. Hati hati dengan passport. Jangan lupa langsung urus health insurance. Hati-hati dalam bergaul. Selalu dekat dengan Tuhan dan ke gereja setiap minggu. Dan masih banyak lagi.
Setelah wejangan, dilanjutkan dengan serah terima barang. Saya jelaskan barang-barang apa saja yang baru dibeli di Ikea, cara memasang dan penggunaannya. Serah terima uang agar cukup untuk biaya hidup sampai nanti dia terima kartu ATM Deutsche Bank. Yang tak kalah penting adalah serah terima dokumen yang segabruk-gabruk.
Kami akhiri malam itu dengan doa bersama. Saya bukan termasuk emak-emak yang gampang mewek. Tapi doa malam itu sempat membuat kata-kata saya tersendat dan pipi hangat oleh air mata saat saya menumpangkan tangan saya di kepalanya. Rasanya 19 tahun berlangsung begitu cepat, dan saya harus membiarkannya belajar mengepakkan sayapnya sendiri. May God bless you and keep you, my son.
Keesokan harinya, tepat jam 7 pagi yang masih gelap di akhir bulan januari 2016, saya berangkat. Si Sulung mengantar sampai Cologne Hauptbahnhof. Tidak banyak kata, saya hanya mencium keningnya dan ia balik badan kembali ke dorm. Tapi beberapa detik kemudian kembali lagi ke saya dan bertanya,”Nomor kereta yang ke dorm nomor berapa Ma?” Sesuatu hal yang simple dan dia tidak ingat … membuat hati saya berasa nyeees. Siapkah dia saya tinggal?
Saat kereta yang membawa saya sendiri ke Utrecht- Belanda mulai melaju cepat, pipi saya kembali menghangat karena airmata. Beberapa flashback memory saat ia masih kecil mulai bermunculan. Dari dulu kami senantiasa mendoakan si Sulung suatu waktu mampu dan kuat mengepakkan sayapnya sendiri. Mengapa saat waktunya belajar mengepakkan sayap tiba, saya harus menangisinya? untuk menguatkan hati saya, tak putus saya berdoa untuknya, memejamkan mata sekaligus untuk menahan agar air mata saya tidak terus jatuh.
Postingan ini pasti terasa cengeng bila dibaca anak-anak yang sudah meninggalkan “sarang”nya dan hidup sendiri. Sama seperti saya merasa geli saat melihat Ibu saya terisak-isak meninggalkan saya di kost, saat baru pertama kali kuliah. Padahal jarak kost ke rumah hanya 1,5 jam perjalanan mobil. Tapi percayalah, saat kalian menjadi orang tua nanti, kalian baru merasakan, meninggalkan anak hidup sendiri merupakan salah satu hal yang berat yang harus dilewati orang tua.
Setelah 1 jam perjalanan kereta, pikiran saya mulai tenang. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh sapaan, “Excuse me Ma’am, do you have a pen?” Saat saya membuka mata, ternyata posisi ibu tua di depan saya sudah digantikan pemuda tanggung seumuran si Sulung. Segera saya menyerahkan bolpen kepadanya. Setelah mengucapkan terimakasih, Ia mengeluarkan setumpuk kertas dari backpacknya. Nampaknya kertas itu tidak dimasukkan dalam map plastik sehingga kertas yang mirip seperti form isian itu tertekuk-tekuk di ujung-ujungnya. Tanpa berusaha merapikan kertas yang tertekuk, ia mulai mengisi form tersebut. Rambutnya yang kuning kecoklatan tertimpa sinar matahari dari jendela kereta, sesekali diusapnya ke belakang. Sambil mengisi ia terlihat kebingungan menyusun halaman kertas yang berantakan. Benar-benar slordig dan mengingatkan saya pada si Sulung yang saya tinggalkan di Cologne. Mata saya mulai berkaca-kaca lagi. Aaah.
Tiba di Utrecht, saya tidak langsung sadar bahwa saya harus turun untuk ganti kereta ke Schipol. Saya tersedar beberapa detik sebelum kereta meanjutkan perjalanan. Masih dengan mata yang berkaca-kaca dan hidung yang mampat, saya terburu-buru minta kembali bolpen saya kepada si remaja itu. Maaf itu bolpen satu-satunya yang saya perlukan untuk mengisi kartu imigrasi nanti. Baru saja kaki menjejak di lantai halte, pintu kereta langsung menutup di belakang saya.
Segera saya menguatkan hati dan mulai fokus dengan perjalanan saya. Masih ada kereta yang ditunggu untuk membawa saya ke Schipol. Jangan sampai galau gumalaw lagi supaya gak ketinggalan kereta. Fokus. Tinggal beberapa jam lagi saya akan berkumpul kembali dengan Suami dan si Bungsu di rumah.
Di kereta Belanda yang membawa saya ke Schiphol tersedia free wifi (yang tidak tersedia di kereta Jerman). Saya segera WA suami, “going home …with mixed feeling.”