Dengan direct flight Garuda Jakarta – Amsterdam kami tiba di Schipol jam 8.15. Proses imigrasi dan pengambilan bagasi berlangsung cepat dan lancar. Setelah itu lanjut naik kereta ke Cologne atau Koln, Germany. Tiket kereta saya beli 3 bulan sebelumnya secara online di www. Bahn.de seharga 19 Euro.
Tiba di Cologne masih cukup siang. Udara dingin bulan Januari langsung terasa di wajah dan telapak tangan yang tidak dilindungi penghangat. Setelah check in di apartemen mini yang dikelola oleh seorang ibu Jerman berbadan besar, kami langsung memutuskan untuk belanja di Supermarket terdekat.
Sengaja saya membeli bbrp bahan mentah di Supermarket, agar si Sulung tahu apa yang harus dibeli dan dimasak saat nanti kost. Saat itu saya belanja roti, nutela dan keju untuk sarapan, susu, butter, garlic, kentang, daging ayam mentah, sosis, apel, selada dan saus salad. Bahan mentah seperti ini harganya lebih murah daripada di Jakarta. Susu satu liter harganya 0,9 Euro atau bila dikurskan sekitar Rp. 13.500. Padahal Susu pasteurisasi di Jakarta harganya sekitar 25 ribuan Rupiah. Bahkan nanti si Sulung bisa beli susu seharga 0,6 Euro kualitas yang paling jelek tapi katanya rasanya masih lebih creamy dari yang di Indonesia
Selain belanja, apa saja yang perlu dilakukan di minggu-minggu pertama saat tiba di Jerman? Berikut ini adalah yang kami lakukan.
Membeli SIM Card
Satu hal yang perlu dibeli di hari pertama adalah SIM card. Kami harus banyak menelpon tempat kost dan browsing google map dan jadwal kereta. Jadi punya nomer lokal penting banget. SIM Card yang banyak dipakai mahasiswa Indonesia di Jerman konon merknya O2, karena bisa gratis kalau menelpon sesama O2. Tapi karena alasan praktis, kami beli Aldi Talk seharga 10 Euro karena sedang belanja di Supermarket Aldi.
Seorang teman Jerman kenalan kami yang baik hati, membantu kami mengaktifkan SIM card. Petunjuk mengaktifkan SIM card dan panduan suara di telpon semuanya dalam bahasa Jerman. Diperlukan juga alamat tingga di Jerman, yang sementara menggunakan alamat rumah teman saya itu. Kalau kami sendiri yang melakukan … lieur juga. Bersyukur banget ada yang membantu.
Nomor telpon Jerman ini nantinya diperlukan juga untuk beberapa proses di bawah ini. Mereka selalu menanyakan nomor telpon aktif yang bisa dihubungi.
Membeli Kartu abunemen Kereta
Kartu abunemen kereta diperlukan bila kita banyak keliling kota. Kalau membayar biaya per perjalanan jatuhnya akan mahal sekali. Sekali jalan bisa 1,2 hingga 2,5 Euro tergantung jarak. Bayangkang bila dalam sehari kita bolak-balik 10 kali nyari kost …bisa boros diongkos. Belum lagi kebingungan ngitung jarak vs ongkos. Daripada ketangkep polisi mending beli abunemen kan.
Kartu abunemen bisa dibeli di mesin box di stasiun besar atau di toko yang ada tulisannya Kunden Center KVB (Kolner Verkehrs Betriebe). Terjemahan bebasnya “Pusat Pelanggan angkutan umum kota Koln”. Kartu Abunemen ini berlaku dari Senin ke Minggu. Jadi kalau beli hari Sabtu maka Senin sudah expired. Supaya gak rugi, belinya hari Senin. Harganya sekitar 25 Euro untuk seminggu.
Lapor ke Universitas Penerima.
Saya sengaja mencari tempat tinggal sementara dekat dengan tempat kuliah si Sulung. Hanya 500m berjalan kaki. Saya ikut ke tempat kuliahnya. Untungnya si Sulung tidak malu ditemani emaknya ke sini. Kuliah diadakan dalam Bahasa Inggris. Sehingga bahasa Inggris cukup jamak digunakan di lingkungan kampus.
Dengan melapor, Si Sulung mendapat kartu mahasiswa dan satu lembar kertas berporforasi yang menyatakan ia sebagai mahasiswa. Kertas ini akan disobek sesuai porforasi dan digunakan untuk mengurus beberapa hal sehubungan dengan status mahasiswanya. Misalnya urusan ke Bank, mencari kost dan daftar ke kota Cologne.
Dalam kartu mahasiswa juga sudah terisi uang transport mahasiswa selama satu semester. Dengan kartu itu ia bisa bepergian kemana saja di region North Rhine Westphalia (Koln dan sekitarnya termasuk Bonn, Solingen, Dusseldorf, dll) tanpa perlu membayar lagi.
Mencari Tempat Kost
Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, Perjuangan mencari tempat kost adalah yang terberat. Padahal mempunyai alamat tinggal sangat diperlukan untuk proses legal selanjutnya sebagai penduduk sementara kota Cologne.
Puluhan email yang saya dan si Sulung kirimkan untuk mencari WG banyak yang tidak terjawab. Mungkin karena si Sulung hanya student exchange, mereka malas menerimanya. Mereka mungkin lebih senang mencari teman sekamar yang periode tinggalnya lebih lama.Jadi gak repot cari teman sekamar lagi.
Email yang merespon kebanyakan dari penipu. Yang ujung-ujungnya minta duit dan minta scanning halaman depan passport. Tentunya yang seperti ini tidak digubris. Ada 2 email yang merespon baik, tapi mereka tidak bisa menunggu hingga kedatangan kami ke Jerman, Mereka mendahulukan yang sudah datang dan sudah mereka interview.
Jadi saat di Jerman kami mulai kirim lagi beberapa email. Beberapa mulai ada yang merespon. Nah dimulailah kegiatan berantem antara emak sama anak. Saya tidak setuju dengan pilihan si Sulung yang mau sharing flat dengan seniman nyentrik, dengan email bahasa inggris gaul. Jadi saya menolak datang ke tempat itu. Sebaliknya si Sulung menolak rumah yang hommy tapi agak jauh di pinggiran kota.
Kami tidak hanya lelah dengan segala argument seperti ini, kami pun lelah dengan perjalanan mengecek tempat. Di hari kelima pencarian kost, kami mendatangi satu rumah di area industry. Email dijawab singkat, tapi kami dipersilakan datang jam 7 malam saat seluruh penghuni sudah ada di rumah. Ternyata oh ternyata….iklan itu dipasang oleh orang iseng. Alamat dengan nomer itu tidak ada. Kami berakhir di jalan sepi dengan semak tinggi di sekelilingnya. Capek dan merasa tertipu saya menangis di kereta perjalanan pulang saat hari semakin gelap dan sunyi diiringi rintik salju. Rasanya sudah blank kemana lagi kami akan cari kost. Si Sulung hanya menepuk-nepuk pundak saya berusaha menenangkan.
Besoknya dengan semangat baru kami mendatangi kantor KSTW (Asrama Mahasiswa Koln) yang jam bukanya pelit banget. Buka hanya dari Senin s/d Kamis dari Jam 10.00-12.00. Kantor berdinding dan berpintu kaca tebal itu terlihat sepi dan terkunci, tidak ada petugas. Padahal kami datang saat jam buka. Capek mengetuk, kami memutuskan untuk menunggu diluar sambil menggigil kedingingan di suhu -2oC siang hari itu. Sampai kami lihat ada orang lewat di dalam, kami langsung kembali mengetuk pintu … ehm lebih tepatnya menggedor. Untungnya orang tersebut sangat ramah. Dia mempersilakan kami masuk dan menanyakan keperluan kami. Segera si Sulung menyodorkan lembar pendaftaran ke KSTW yang sudah didaftarkan 3 bulan yang lalu dan dengan tampang melas memohon tempat kost karena sudah seminggu di Jerman belum dapat tempat juga. Wanita berperawakan laki-laki itu mencatat nama dan alamat email si Sulung di selembar kertas post-it. Lalu sambil mengakhir pertemuan ia berkata, “Let’s see what we can do for you. But don’t expect too much.”
Pertemuan yang sangat singkat. Kami pun tidak mengharap akan ada hasilnya. Hingga kami cek email keesokan harinya … aaah Kakak dapat Kost dari KSTW. Puji Tuhan. Email itu menuliskan alamat kost lengkap dengan berbagai aturan untuk melapor kembali ke KSTW dan melapor ke gedung tempat kost dalam 3 x 24 jam. Semua dalam bahasa Jerman, sehingga kami lagi-lagi mengandalkan google translate. Harga kost sangat affordable, yaitu 246 Euro sebulan, sudah termasuk listrik, gas dan internet.
Pagi itu, si Sulung sudah masuk kuliah. Jadi saya sendirian melihat tempat kost baru. Saya terharu melihat fisik asramanya, sama sekali tidak mengecewakan. Merupakan bangunan tertinggi di areanya dan berada satu kompleks dengan stadion olahraga, dan kantin mahasiswa. Letaknya memang agak di pinggir kota, tapi hanya perlu 20 menit menuju kampus dan hanya 200 m ke halte kereta dan bis. Supermarket besar Rewe memang harus ditempuh dengan naik kereta, tapi letaknya pun dekat halte.
Besoknya, mumpung kuliahnya dimulai siang, kami menyempatkan diri ke kantor KSTW untuk mengurus ijin tinggal. Saya membiarkan si kakak mengurus sendiri administrasi asrama. Toh saya sudah akan pulang beberapa hari lagi. Ada berlembar-lembar dokumen dalam bahasa Jerman yang harus dia isi dan tandatangani. Si Sulung memberikan passport aslinya yang lalu mereka copy bagian lembar info dan visa, copy Acceptance Letter dari kampus dan kertas berporforasi dari kampus yang mereka sobek dan ambil satu bagian, dan printed email dari Deutsche Bank yang menunjukkan nomor account dan uang yang sudah kita transfer. Jerman memang seneng banget dengan printed dokumen.
Lega banget sudah mendapatkan tempat tinggal. Berarti kami sudah bisa mengurus proses selanjutnya.
Stadt Anmelden atau Registrasi ke City of Cologne.
Setelah mempunyai alamat tempat tinggal, tahapan penting selanjutnya adalah mendaftar ke bagian kependudukan kota. Proses ini pun dilakukan sendiri oleh si kakak. Saya hanya mengantar dan membayar. Dokumen yang diminta sama seperti dokumen untuk mengurus asrama, hanya ditambah surat keterangan tempat tinggal (mietvertrag) yang diterbitkan asrama dan pas foto.
Dari proses ini akan diperoleh lagi surat Registration certificate by the City of Cologne (Einwohnermeldeamt). Satu lembar sertifikat penting ini berguna untuk mengaktivasi blocked account dan memperpanjang visa nanti.
Tahapan-tahapan proses legal yang harus dilakukan di Jerman, dijelaskan sangat detail oleh pihak kampus saat minggu pertama masa orientasi. Bahkan disediakan “buddy” yaitu mahasiswa asing sebelumnya, yang bisa menjadi tempat bertanya.
Mengaktivasi Blocked Account
Kalau sudah urusan duit, maka si Sulung dengan semangat 45 tanpa disuruh, menyempatkan diri mengurus aktivasi blocked account. Siang sepulang dari kampus ia mampir ke kantor Bank Deutsche terdekat dengan membawa sertifikat maha penting di atas, ditambah passport dan print out no rekening dan bukti sudah transfer yang dikirimkan DB ke emailnya.
Account itu tidak langsung aktif pada hari itu juga. Nanti DB akan mengirim pin dan kartu ATM ke alamat asrama sekitar 2 minggu kemudian. Barulah setelah itu ia bisa menarik uang di ATM. Langsung deh si Sulung mengingatkan saya untuk meninggalkan sejumlah uang untuknya sebelum saya pulang ke Indonesia.
Belanja Keperluan Tinggal
Jadwal kuliah si Sulung sudah semakin padat. Tidak ada kesempatan lagi untuk belanja kebutuhan tinggal. Saya pun keluyuran sendiri untuk belanja. Pertama mampir ke supermarket untuk beli aneka tissue untuk di dapur, di toilet dan di kamar. Beragam toiletris termasuk sabun cuci piring.
Setelah itu saya menyempatkan diri belanja ke IKEA. Seluruh kebutuhan rumahtangga yang harganya terjangkau kantong mahasiswa adanya memang di toko ini. Sayangnya tempatnya jauuuh di pinggir kota. Saya harus 2 kali ganti kereta dan 1 kali naik bis. Berangkatnya sih gak masalah, tapi pulangnya bawa gembolan gede belanjaan lumayan bikin pinggang remek. Saya merasa seperti inang-inang yang jualan di pasar.
Yang saya beli adalah kebutuhan kamar yang tidak disediakan asrama. Diantaranya sprei, bantal, selimut, matras cover, piring, garpu dan sendok. Jangan nyari guling di Jerman, gak bakal ketemu. Kalau tidak bisa tidur tanpa guling, bawalah guling yang divacum dari Indonesia beserta sarung gulingnya.
Sprei dijual dalam 1 set dengan warna dan corak yang matching. Isinya terdiri dari sprei, sarung bantal dan sarung selimut. Jadi selimut harus beli isinya yang covernya putih polos dengan isi bahan dacron (paling murah) atau bulu angsa (paling mahal). Isi selimut dijual dengan cara digulung, sehingga sempat saya kira guling.
Ukuran bantal Jerman berbeda dengan ukuran bantal di Indonesia. Bisa 2 kali lipat ukurannya (sekitar 80 x 80 cm) tapi lebih tipis dan lembek. Displaynya pun digulung seperti guling kecil. Mengingat ukurannya yang beda dengan di Indonesia, maka lebih baik beli bantal di Jerman saja yang ukurannya sudah pasti pas dengan sarungnya. Harganya gak terlalu mahal kok.
Belanja untuk anak yang akan ditinggal pulang 2 hari lagi rasanya tidak pernah cukup. Saya terus mengingat-ingat apa yah yang masih harus dibeli lagi. Diperjalanan pulang dari Ikea, akhirnya saya menyadari…bukan anak yang tidak siap tinggal sendiri di Jerman, tapi sayalah yang tidak siap untuk melepaskannya hidup sendiri….
Perpisahan dengan anak, menjadi peristiwa yang paling mengharukan.