Saat jalan-jalan ke negara Asia Tenggara, otomatis akan membuat saya membandingkan dengan negara sendiri. Kondisi geografis, ekonomi dan budayanya yang mirip memang mau tak mau menggiring kita untuk membandingkannya. Hasil akhir membandingkan biasanya ada dua. Yang pertama kita semakin bangga dengan negara sendiri. Yang kedua kita jadi ngiri. Eh gak lah ya ….yang kedua kita jadi berpikir apa seharusnya yang terbaik untuk negara kita untuk meningkatkan devisa dari pariwisata.
1. Bandara
Ada dua bandara internasional di Bangkok. Yang paling megah adalah bandara Swarnabhumi dan yang lebih kecil adalah Bandara International Don Mueang. Bandara Swarnabhumi dimana semua pesawat Thai Airways mendarat, merupakan bandara kesembilan tersibuk di Asia berdasarkan data statistik tahun 2014 (tidak termasuk Dubai). Jangan sedih, Bandara Soetta adalah Bandara tersibuk keempat di Asia. Sayangnya sampai dengan tulisan ini dibuat, Bandara Soetta masih kalah keren dan kalah megah dari Swarnabhumi.
Sebagai pintu gerbang ke suatu negara, harusnya bandara internasional harus berkesan “wow”. Kesan pertama itu penting loh, supaya mood senangnya kebawa terus sampai keluar bandara. Saya sangat berharap pembangunan bandara Soeta yang sedang berlangsung sekarang akan menciptakan efek “wow” juga untuk setiap turis asing yang datang ke Indonesia.
Bukan hanya bangunannya yang megah, system di dalam bandara Swarnabhumi juga rapi. Proses imigrasinya terhitung cepat. Ada jalur khusus buat pemegang passport dari negara ASEAN. Seingat saya di Singapore dan di Indonesia malah gak ada nih jalur khusus negara ASEAN (cmiiw).
Selesai proses imigrasi, gak perlu menunggu terlalu lama untuk keluarnya bagasi. Ambil trolley, tunggu 10 menit dan keluarlah koper-koper antik saya di conveyor belt. Dan gak ada itu porter-porter bandara yang ngambilin koper para tuan dan nyonyah yang baru bepergian dari luar negri. Angkat sendiri kopermu yang segede gaban, merupakan peraturan yang jamak di negara-negara lain. Porter berbayar sampai saat ini hanya saya jumpai di Indonesia. Seperti proses perbudakan modern yang menjadi pemandangan aneh buat turis asing dan harus dihilangkan, menurut saya.
Jarak Bandara Swarnabhumi ke tengah kota sekitar 30 km. Bisa naik shuttle bus, kereta, hingga taxi. Karena saat kami tiba sudah menjelang tengah malam dan saya belum mempelajari transportasi umum Bangkok, maka kami memutuskan untuk naik taxi. Mencari taxi di bandara ini sangat mudah. Petunjuk “Public Taxi” nampak jelas terpampang mengarahkan kemana kaki harus melangkah. Abaikan saja calo yang melambai-lambai menawarkan taxi dengan fixed rate (alias tak ber-argo). Don’t even look at them! Sama lah cara mengabaikan calo di negeri kita. Mantap saja berjalan menuju tempat antrian taxi di luar gedung dimana terdapat aneka taxi warna-warni yang berjajar rapi. Sambil tetap mengabaikan para calo, langsung saja menuju box yang seperti ATM di depan antrian taxi. Tekan layar sentuhnya maka akan keluar secarik kertas di bagian bawah, berisi nomor antrian taxi. Carilah nomor yang di cat di aspal tempat taxi parkir, yang sama dengan nomor tiket tersebut. Kita gak bisa milih taxi. Kalau beruntung ya dapat taxi yang masih baru. Kalau sial ya dapat yang agak reot seperti pengalaman saya. Hiks.
Keluarga yang terdiri dari empat orang dengan 3 koper sedang bisa muat dalam 1 taxi. Agak sulap juga sih memasukkan 3 koper ke bagasi. Untungnya kami dapat taxi yang agak besar, meski agak reot. Setiap belok atau melewati jalan yang kurang rata, akan terdengat bunyi “kreooot” yang membuat gigi ngilu. Huhuhu…jadi kangen dengan taksi burung biru di Jakarta. Ongkos taxi dari airport sekitar 350 baht (1 baht : Rp 375, Jan 2016) dengan lama perjalanan 40 menit. Lancar tanpa macet.
2. Transportasi umum: kereta, taxi, motor, dan tuk-tuk
Saya ngiri melihat skytrain di Bangkok. Disebutnya BTS, Bangkok mass Transit System. Relnya yang “melayang” diantara gedung tingkat, membuat tampilan kota jadi lebih modern. Meskipun rutenya belum banyak, tapi BTS ditambah MRT (di bawah tanah) mampu mengurai kemacetan kota Bangkok. Jakarta memang telat bangun monorail, tapi saya berharap 1-2 tahun kedepan, saya sudah bisa bangga dengan system transportasi Jakarta. Ayo pak Ahok … semangat !
Memang dari sisi kereta cepat, Jakarta ketinggalan dari Bangkok, tapi tidak untuk taxi dan motornya. Sebelum menjejakkan bokong di jok taxi, pastikan taxi tersebut menggunakan argo. Kalau tidak, siap-siap anda dikemplang dengan harga yang lebih tinggi. Memang harga taxi dengan argo relative lebih murah daripada di taxi di Jakarta, makanya lebih banyak supir taxi yang menolak argo disbanding yang pakai argo. Tapi saya mending lama nungguin taxi ber-argo + ngasi tips lumayan ke supir, daripada tanpa argo dimana saya merasa ditipu.
Sama seperti supir taxi di Jakarta, supir di Bangkok tidak bisa berbahasa Inggris. Parahnya lagi ada yang gak bisa baca tulisan latin. Jadi kalau mau ke hotel yang agak pinggiran seperti hotel saya, sebelum berangkat, minta by email denah hotel yang disertai petunjuk jalan yang harus dilalui dalam tulisan Thai yang kruwel-kruwel. Sodorkan print out denah itu ke supir. Kalau supirnya gak nakal, dijamin myampe ke hotel tanpa kesasar. Kalau ketemu supir yang nakal bagaimana? Ah…anda yang terbiasa menghadapi kerasnya Jakarta masa harus dikasi tahu? Umumnya orang-orang yang tinggal di Jabodetabek lebih preman daripada supir taxi Bangkok.
Kesopanan berlalulintas di Bangkok serupa dengan di Jakarta. Klakson dibunyikan keras-keras kalau macet, tidak sabar dengan pejalan kaki yang nyebrang di zebra cross … tidak usah diceritakan lagi, sudah tau sendiri. Malah untuk pengendara motor, di Bangkok masih lebih bebas. Di jalan raya utama masih bisa naik motor dengan rambut berkibar tertiup angina tanpa helm. Cukup senyum ke pak polisi, maka motor tak berhelm ini bebas lewat. Hanya bedanya jumlah pengendara motor Bangkok tidak sebanyak di Jakarta yang sudah seperti laron merubungi lampu.
Penggantinya bajaj di Bangkok adalah tuk-tuk. Bentuknya lebih panjang dari bajaj dan hiasannya lebih dekoratif. Sepertinya tuk-tuk sengaja dilestarikan oleh pemerintah untuk sensasi transportasi “aneh tapi nyata” buat turis bule. Kami yang turis melayu ini tidak terlalu tertarik. Pernah sekali nawar ke abang tuk-tuk … eh harganya kok lebih mahal dari taxi tanpa argo. Mending naik bajaj BBG aja di Jakarta.
3. Tour Lokal
Di Bangkok memang belum ada bis Hop on Hop Off. Tapi local tour yang menawarkan city tour hingga ke Pattaya, jumlahnya buanyak. Tour agent yang saya sewa, menjemput kami tepat waktu di hotel. Mereka menjemput dengan mobil mewah VW Caravelle yang nyaman. Tour guidenya seorang ibu umur 50an tahun tapi tetap berpenampilan sporty dan Bahasa Inggrisnya sangat baik.
Sayangnya kesan pertama yang menyenangkan itu dikecewakan dengan info pertama dari tour guide, bahwa Grand Palace tidak bisa dikunjungi karena saat ini libur tahun baru. Saya kecewa. Kalau tahu setiap tahun baru Grand palace tutup, kenapa dimasukkan dalam itinerary? Kesel banget rasanya di-PHP-in. Berdasarkan website pemerintah Thai memang Grand Palace Bangkok secara rutin tutup di tanggal-tanggal tertentu. Tidak mau ribut, saya nikmati saja tour hari ini.
Asiknya ikut tour private seperti ini, kita jadi banyak tahu mengenai budaya Bangkok tanpa perlu banyak membaca. Tempat yang dikunjungi pun tak melulu tourist spot yang dipadati turis. Kami diajak menyusuri pasar tradisional dan pasar bunga, yang disebut Pak Klong Talad. Wisata jenis “blusukan” begini memang tidak selalu disenangi turis melayu. Wong pasar tradisional di negeri sendiri banyak kok, ngapain juga blusukan ke pasar Bangkok? Ternyata saya menyukai blusukan ke pasar.
Hidung saya biasanya akan otomatis bereaksi bersin bila mencium bau tajam di pasar. Saya pernah dipelototin tukang sayur saat saya bersin di tumpukan daun kemangi yang dijualnya. Tapi saat blusukan di pasar Bangkok, hidung saya aman-aman saja. Pasarnya memang becek, tapi bersih. Bercak air di lantai adalah sisa-sisa siraman dari air kran yang bening. Got kecil di sisi-sisi kios pasar terlihat mengalir tidak mampat. Tidak ada bau busuk got yang menyengat. Tempat sampah tersedia di setiap kios. Nampaknya pasar yang kami lalui memang disiapkan untuk dilihat turis.
Bunga di Bangkok sepertinya sudah termasuk dalam sembako orang Thai. Bunga dibutuhkan tak hanya untuk hiasan saja, tapi digunakan sebagai bagian dari ibadah harian umat Budha, agama terbesar di Thailand. Makanya tak heran pasar bunga yang kami kunjungi luas sekali. Jam bukanya pun 24 jam non stop tanpa hari libur. Mulai dari bunga kuning-kuning asal lokal hingga tulip dari Belanda. Displaynya ada yang dirangkai cantik sampai ada yang disimpan dengan es batu seperti melati.
Pasar buah dan kebutuhan dapur saat tahun baru tidak seramai pasar bunga. Sebagian kios tutup. Beberapa kios yang buka menjual jeruk nipis dan sereh yang disusun menggunung. Masakan Thai memang paling banyak menggunakan komponen ini. Bedanya dengan pasar tradisional di Indonesia, barang jualan mereka terlihat sangat bersih. Jeruk nipisnya terlihat segar dengan kulitnya yang mengkilat. Bumbu dapur yang tumbuh dalam tanah seperti sereh, jahe, lengkuas, dan kunyit terlihat bersih tanpa setitik tanah, seperti sudah dicuci. Beberapa mobil box dari hotel terkenal, parkir di pasar untuk membeli langsung berkeranjang-keranjang kebutuhan dapur. Sepertinya rantai pemasaran dari petani ke end user sudah dipangkas. Jadi konsumen mendapat bahan yang masih segar dan harga yang tidak terlalu jauh dari harga jual petani. Aaah ….kapan kita bisa seperti ini.

Kelebihan lain dari local tour, kami dipandu ke rumah makan yang menjual sup tom yum gung paling enak yang pernah saya rasakan di Thai. Sayangnya saya lupa mencatat nama rumah makannya apa. Tempatnya sederhana dan kita harus bersabar-sabar dengan pelayanannya. Karena si mbak pelayan tidak bisa berbahasa Inggris, maka tour guide kami membantu memesan makanan dalam Bahasa Thai. Eelahdalah …yang dikeluarin masih salah. Gimana kalau tadi kami pesan sendiri pakai bahasa tarzan ya. Bisa salah semua kali pesanannya. Mungkin karena pengunjungnya banyak, jadi waitressnya kewalahan. Itu baru memesan, saat bayar pun juga harus sabar. Bon sampai ganti 3 kali karena jumlah pesanan tidak sesuai. Awalnya jumlah makanan kebanyakan. Setelah dikoreksi eh jumlah minuman ikut berkurang. Kalau gak ada si tour guide yang menterjemahkan, rasanya sudah pengen jambak-jambak rambut sendiri karena frustrasi komunikasi dengan mereka.
Panasnya udara dan panasnya hati selalu bisa adem kembali saat kami masuk mobil travel yang nyaman. Air dalam kemasan yang disediakan di cooler box selalu tersedia buat kami. Bukan hanya itu, gulungan handuk kecil basah yang putih bersih dan dingin juga disodorkan oleh pak supir yang ramah. Mungkin kalau Jakarta sudah tidak semacet sekarang, bisa juga nih buka usaha private tour seperti ini ….
Bagian kedua akan menceritakan kemana saja dan makan apa saat berkunjung di Bangkok hingga tips belanja
One thought on “Membandingkan Bangkok dengan Jakarta (Bagian 1)”