Belanda Memang Beda

Negara terakhir yang kami kunjungi di trip ke Eropa adalah Belanda. Setelah 3 jam perjalanan dari Brussels (210 km), kami tiba di Amsterdam malam hari. Negara ini terasa berbeda, mengingat perjalanan sejarahnya yang panjang dengan Indonesia. Makan malam kami saat itu di restoran masakan Indonesia merupakan suatu pembuktian bedanya negara Belanda dengan negara lain yang sudah kami kunjungi.

Pembuktian lainnya adalah, lumayan seringnya kami menjumpai orang-orang etnik melayu, ambon, atau campuran etnik tersebut dengan bule. Tidak heran karena imigran keturunan Indonesia menempati urutan 3 terbesar di Belanda, setelah Maroko dan Turki. Beberapa kerabat saya maupun Suami pun merupakan imigran asal Indonesia yang sudah menetap dan menjadi warga negara Belanda. Rencananya kami berniat untuk ketemuan. Tapi rencana tinggalah rencana.

Tour Tambahan

Esok pagi sebelum tour dimulai, kami membatalkan rencana bertemu kerabat. Kami merasa bekal pengetahuan kami untuk mengeksplor Amsterdam sendirian masih sangat minim. Daripada nyasar jadilah kami lanjut ngikut dengan perjalanan tour.

Di kota terakhir ini, peserta tour sudah cukup eneg mengunjungi kota tua dan belanja. Oleh karena itu saat ditawari mampir ke salah satu shopping mall di Amsterdam, seluruh peserta menolak. Selanjutnya seperti saya ceritakan di sini, tour leader menawari tour tambahan. Pilihan tour tambahannya adalah: berkunjung ke desa windmolen di Zaanse Schans (25 Euro), atau mengunjungi kota miniature Madurodam (30 Euro) atau naik kapal lagi keliling kanal (10 Euro). Para peserta memilih 2 pilihan, dan melewatkan tour ke Madurodam.

Kunjungan ke Zaanse Schans menjadi pilihan karena saat ini sulit menemukan kincir angin tradisional di Amsterdam. Kincir angin di desa ini tidak lagi difungsikan sebagai mana harusnya, tapi benar-benar dipertahankan bentuknya saja sebagai penarik kunjungan turis.

Saat tiba di tempat ini pun, kami langsung dihadang dengan fotographer yang menawarkan foto depan kincir. Saya lupa biayanya berapa. Yang jelas lumayan mahal menurut saya, sehingga saya tolak. Tapi tidak demikian menurut Suami, ia malah langsung berpose. Tengsin dong gue gak kompak sama suami … Jadi akhirnya kami jadi juga difoto oleh photographer komersil itu. Tampak di foto nyengir bete saya tidak bisa ditutupi.

Bld-Windmil

Yang menarik di Zaanse Schans adalah toko-toko kecil yang menyerupai rumah-rumah petani. Ada yang menjual souvenir, kukis wafel khas belanda dan keju. Saya paling betah di toko yang menjual keju aneka rasa. Kejunya dikemas berbentuk sosis dengan diameter 10 cm. Mereka menyediakan tester.

Sebagai pencinta dairy products, saya betah sekali mencicipi aneka keju tanpa berasa blenger. Mulai dari keju aroma barbeque, aroma paprika hingga keju kambing. Tentunya bukan keju aroma kambing, tapi keju dari susu kambing. Meski tidak ada keju aroma kambing, tapi ada juga keju aroma kaoskakiyangdipakeseminggu. Kebayang kan baunya seperti apa …

Akhir dari cheese testing adalah belanja beberapa keju aneka rasa yang susah ditemukan di Jakarta. Sudah pasti, keju aroma kaoskaki tidak termasuk dalam daftar belanja.

Siang itu kami makan di desa pelabuhan Volendam. Kalau mau berfoto dengan baju tradisional Belanda di sinilah tempatnya. Kami melewatkan foto keluarga di sini karena sudah berfoto di Mount Titlis ala Autria. Jadi kebanyakan kami window shopping melihat aneka souvenir khas Belanda.

Di jejeran toko souvenir ini, kerap dijumpai para pedagang bisa berbahasa Indonesia sedikit-sedikit. Mungkin karena turis Indonesia senang mampir ke sini. Bahkan ada salah satu toko yang memajang mata uang dari berbagai negara, memiliki koleksi uang Rupiah yang lumayan banyak. Bahkan ada uang 100 Rupiah kertas. Uang yang saya pakai buat naik bis saat SMA dan mengharapkan kembalian gocap. Kebayang kan betapa tuanya saya …Bld-VolendamSelanjutnya kami kembali ke Amsterdam untuk naik kapal keliling kanal. Perjalanan canal cruise diakhiri di sebuah bangunan dengan arsitektur kuno di pinggir kanal. Bangunan tersebut adalah perusahaan pengasah intan terkenal di Belanda, Gassan Diamond. Kami disambut pegawai perusahaan itu yang ternyata orang Indonesia. Dengan Bahasa Indonesia yang lancar dijelasakan bagaimana proses pembuatan intan, dari batu kasar, dipotong hingga dijadikan perhiasan.Bld-CannalCruise

Dijelasakan juga tentang 5C dalam menilai baik tidaknya intan, yaitu Carrat (beratnya), Color (bening, kekuningan seperti champaigne, hingga semburat pink), Cut (semakin rumit potongannya, semakin bagus pantulan cahayanya), Clarity (adanya noda titik atau benar-benar jernih), dan terakhir Certified, bukti tertulis keaslian intan.

Selanjutnya kami dibawa ke ruangan khusus dengan kemanan ketat untuk ditunjukkan aneka jenis intan. Mulai dari intan yang kecil hingga besar. Saat tamu lain tertawa-tawa membayangkan betapa mahalnya berlian 2 karat, saya melipir ke salah satu penjual. Saya memang berniat membeli 1 liontin pengganti liontin saya yang hilang. Karatnyanya cukup nol koma nol sekian saja sesuai kemampuan dompet, tapi saya pilih warna bening, kejernihannya flawless dan cuttingnya paling kompleks. Kinclongnya intan pilihan saya itu melupakan beratnya yang imuut benget. Dalam hati, saya “membenarkan” keputusan belanja saya yang paling besar selama tour ini dengan membatin, “It’s true. Diamond is woman’s best friend”.

Karena intan harus diikat dengan emas putih menjadi liontin, maka setelah membayar, barang tidak bisa langsung di tangan, tapi dijanjikan diantar ke hotel tempat kami menginap. Dengan namanya yang sudah besar, saya percaya perusahaan ini tidak akan “melarikan” uang saya ataupun menukar intan pilihan saya dengan kualitas yang lebih rendah.

Selanjutnya tentang Amsterdam, saya tidak terlalu ingat lagi detailnya. Kami digiring lagi ke oldtown yang disebut Damrak, dimana terdapat royal palace, national monument dan central station. Yang menyenangkan buat rombongan para Bapak saat itu adalah kesempatan berjalan melewati red light district Belanda setelah makan malam. Negara yang berani tampil beda karena melegalkan ganja dan prostitusi itu mempunyai tempat RDL yang terkenal karena “sampel produknya” dijajakan di etalase. Melewati jalan itu sambal melirik etalase dengan ujung mata masih dibolehkan. Tapi jangan coba-coba melototin “barang dagangan” dengan wajah mupeng tapi gak beli. Siap-siap saja dihajar preman di sana. Tentunya para Bapak itu tidak berani mengamati terang-terangan. Apalagi rombongan ibu-ibu nan gahar melebihi preman sudah menanti di ujung jalan…

Setibanya di hotel, kami yang sudah kelelahan harus menyempatkan diri untuk packing. Malam ini malam terakhir, besok kami sudah kembali ke Jakarta. Acara sibuk packing itu diselingi dengan ngobrol panjang dengan keponakan yang tinggal di Belanda lewat telepon. Sayang kami tidak bisa bertemu …

Oh ya malamnya tour leader kami mengetuk pintu kamar, dan menyerahkan kalung dan liontin solitaire diamond pesanan saya. Ini yang saya tunggu-tunggu. Bergegas saya pakai kalung itu. Meski tidak menambah cantik, yang jelas kalung itu membuat saya shine bright like a diamond…ala Rihanna.

Belanda yang berbeda mengakhiri perjalanan kami. Hotel kami hanya berjarak 15 menit ke Schiphol, bandara Amsterdam. Di perjalanan pulang hingga beberapa hari sesudahnya di tanah air, kami masih mendiskusikan pahit manisnya tour ke Eropa sambal melihat foto-foto. Akhirnya disimpulkan, suatu saat kami akan ke Eropa lagi, tapi kali ini harus jalan sendiri …..

Advertisement

Author: javanicblue

https://javanicblue.wordpress.com/about/

One thought on “Belanda Memang Beda”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: