Kami menjejakkan kami pertama di Roma, Italy atau Italia, tepat saat Christmas eve. Proses imigrasi di bandara Fiumicino Italia atau Leonardo da Vinci Airport, tidak ribet atau pun ketat. Kami agak terheran-heran juga segitu mudahnya kami melenggang kangkung keluar bandara.
Nah saat keluar dari bandara lah baru terjadi hal yang menyebalkan. Bis yang menjemput ternyata tidak ada di tempat penjemputan. Tour leader kami sempat panik, menelpon beberapa kali ke rekanannya di Roma. Katanya ada miskomunikasi dengan rekanan jadi salah jadwal. Kok bisa ya? Jadi perlu menunggu 1 jam lebih untuk mendatangkan bis pengganti. Semua peserta ngegerundel. Tapi saat bis datang dan pintu terbuka, turunlah supir Italia usia 20an nan ganteng bak artis Hollywood. Langsung deh para remaja putri hilang keselnya. Bahkan salah seorang remaja nekat ngajak foto bareng.
Dari Roma, kami keliling kota sebentar melewati (benar-benar hanya lewat ….) Roman Forum, Sungai Tiber, Vittorio Emmanuelle Monument, lalu langsung menuju Vatican, negara kecil di dalam kota Roma. Berdasarkan peraturan setempat, tour guide di Vatikan harus berasal dari lokal. Maka bergabunglah bersama kami tour guide bule asli Italy yang menjelaskan sedikit tentang Roma dan Vatikan.
Sayangnya tour guide ini seperti kejar setoran atau buru-buru mau pulang untuk natalan. Penjelasannya asal nyerocos dan tidak terlalu peduli tamunya ada dimana, dengerin apa enggak. Sebaliknya turis Indonesia memang sebagian besar tidak peduli dengan tour guide ini. Entah karena keterbatasan bahasa atau keasikan foto-foto sana sini. Semula kami ingin menyimak penjelasan si tour guide, tapi terganggu dengan komentar peserta tour, seperti “hiiih bagusnya…apaan itu ya?” atau “Mbak, tolong fotoin dong sebentar”.
Penjelasan mengenai St. Peter’s Basilica dan ritual natalnya adalah penjelasan tour guide yang cukup jelas kami tangkap. Tempat tinggal Sri Paus, Pemimpin agama tertinggi bagi umat Khatolik, saat itu sedang sibuk dengan persiapan acara natal besok yang akan dihadiri oleh ribuan umat Khatolik dari berbagai negara yang berkumpul di halaman Basilica. Sri Paus akan muncul di salah satu jendela Basilica tersebut untuk menyampaikan berkat dan pesan Natal. Kalau kami travelling sendiri, tentunya kami sudah ikut ngantri seperti orang lokal meskipun kami bukan Khatolik. Saya baru sadar, kegiatan favorit keluarga kami kalau travelling sendiri adalah ikut berbaur dengan kerumunan orang lokal mengikuti kegiatan tradisi setempat. Lebih seru rasanya.
Senja cepat sekali menjadi gelap saat winter. Kami digiring lagi ke bus menuju salah satu spot untuk foto depan Colloseum. Sebenarnya saya ingin sekali berkeliling di Colloseum lebih lama. Bahkan ingin lihat dalamnya Tapi kalau ikut grup yah … kita lah yang mengikuti jadwal tour. Bukan sebaliknya.
Selanjutnya kami menuju kolam air mancur yang terkenal, Travi Fountain. Oh ya si tour guide bule tadi sudah diturunin di salah satu stasiun kereta. Jadilah tour guide bawaan dari Jakarta yang memberi penjelasan dengan membaca catatan kecilnya. Ia menjelasakan tentang Travi Fountain yang merupakan salah satu tourist spot terkenal di Roma beserta sejarah ringkas dan mitos yang menyertainya. Penjelasan ini dapat kita cari dengan mudah di internet. Yang mau saya ceritakan adalah betapa penuhnya tempat ini dengan manusia dari berbagai negara. Mau berfoto di depan air mancur ini tidak mudah. Mata harus jelalatan mencari spot yang agak kosong sedikit, tapi juga harus siaga menjaga kepala jangan sampe meleng ketampar backpack turis Jerman yang gede-gede. Sementara itu tangan juga sibuk mendekap erat tas karena banyak copet. Benar-benar suasana yang kurang nyaman buat kami, terutama buat anak-anak. Jadi segera setelah syarat untuk berfoto terpenuhi, kami menyingkir ke café-café yang banyak tersebar di sekitar situ.
Salah satu mimpi saya adalah makan pizza asli Italia. Disitulah keingan saya terkabul. Rasanya tentu saja jauh berbeda dengan pizza si atap merah. Dibandingkan dengan pizza di resto Italia elite di Jakarta saja, yang asli ini jauh lebih enak dan wangi, tapi sekaligus lebih oily. Mungkin kejunya lebih berlimpah, daun rempahnya juga masih segar dan olive oilnya yang wangi membuat rasanya enak banget. Lucunya beli pizza di sini ditimbang dulu. Pizza besar berbentuk persegi (bukan lingkaran) dipotong untuk ukuran perorangan. Harganya per 100 gram kalau gak salah 4 Euro. Mahaaal bok…. Semula kami hanya icip-icip beli sepotong untuk dimakan berempat. Gak taunya karena nambah terus, kami beli sepotong seorang dengan topping yang berbeda-beda.
Perjalanan berakhir di Chinese restaurant untuk makan malam. Jangan heran, meski jalan-jalan ke Eropa, travel agent hampir selalu membawa kita makan ke chinese restaurant. Bisa jadi karena harganya yang murah dibanding kalau kita makan makanan Eropa. Menurut si tour leader, jenis makanan ini juga lebih ramah di perut orang Indonesia yang perlu diisi nasi.
Hampir pasti kalau kita makan, akan ketemu rombongan turis lain dari Indonesia tapi beda travel agent. Bahkan pernah kami harus berdingin-dingin menunggu di luar restaurant selama 40 menit, karena rombongan sebelumnya datang terlambat dan belum selesai makan.
Rasa makanannya sih lumayan. Tapi teuteup …. rasa chinese food di Indonesia jauh lebih enak. Capcay dan ayam nankingnya Koh Abun di salah satu rumah makan di Jakarta, rasanya lebih juara. Apa karena msg-nya lebih banyak? hehehe…gak tau juga.
Ada yang menyenangkan saat acara makan. Sambil menunggu makanan datang, biasanya waktu ini menjadi ajang perkenalan sesama peserta tour. Umumnya meja di chinese restaurant kan bundar dengan kursi 8. Jadi satu meja bisa diisi 2-3 keluarga. Makan malam kali ini kami satu meja dengan keluarga dengan 2 anak usia SD yang aktif. Besok dengan keluarga yang ibunya selalu berganti jaket setiap hari (no wonder kopernya gede dan banyak). Besok-besoknya lagi karena sudah saling kenal, duduknya sudah bukan per keluarga lagi. Si sulung sudah semeja dengan teman barunya sesama remaja dan ibu-ibu ngariung 1 meja. Pernah di meja kami ada anak lain lebih kecil dari si bungsu, tapi sudah gak peduli lagi ortunya ada di meja mana, karena sudah nyaman dengan rombongan tour ini. Senangnya kalau suasana sudah akrab begini.
Malamnya kami tidur di hotel pinggir kota. Sudah pasti hotel ini lebih murah daripada hotel di tengah kota. Karena sudah sangat lelah setelah 17 jam di pesawat dan langsung jalan-jalan, makanya begitu selesai mandi dan menyentuh bantal kami langsung blek sek. Tapi saya terbangun jam 3 pagi. Bangunnya dengan kaget lagi. Serasa bangun kesiangan karena jam weker gak nyala. Ternyata jam tubuh saya masih waktu Indonesia yang kala itu jam 9.00 WIB. Ini mungkin yang namanya jetlag.