Paris, benarkah romantis ?

Bila anda ikut group tour ke Eropa selama sekian hari, bisa dipastikan 40% isinya adalah perjalanan. Baik itu perjalanan pergi dan pulang naik pesawat maupun perjalanan naik bis dari satu kota ke kota lain. Seperti itinerary kami di hari keenam. Isinya hanya: Perjalanan dari Lucerne menuju Paris di negera Perancis. Saya pun lupa apa yang saya lihat dan lakukan selama perjalanan ini. Nampaknya perjalanan sejauh 600 km ini tidak terlalu berkesan.

Yang saya ingat menjelang masuk Paris di sore hari, jalannya macet sekali. Rasanya lebih dari sejam kami antri memasuki kota Paris. Baru kali ini kami ketemu macet selama di Eropa. Bayangan Paris yang romantis agak buyar gara-gara kemacetan ini.

Keesokan harinya, hari ketujuh, itinerary perjalanan sangat padat. Seolah untuk membalas hari sebelummnya yang hanya naik bis seharian. Tertulis di lembar panduan hari ketujuh: Menara Eiffel, Gereja Notre Dame, Lovre, Arc de Triomphe, Palace de la Concorde, dan Invalides. Tak ketinggalan acara shopping di jalan paling top di Paris yaitu Champs Elysees yang disebut dengan lidah berbelit “syohn ze-li-zey”.

Menurut saya, Paris yang romantis harus dinikmati secara perlahan. Dicecap perlahan makanannya yang enak, didengar seksama bahasanya yang khas, ditelusuri dengan teliti bangunannya yang indah, semuanya dilakukan dengan santai. Kalau itin yang segabruk begitu dinikmati buru-buru, maka Paris terasa sebagai kota metropolitan biasa. Tranpostasinya macet, banyak orang hilirmudik, turis keleleran dimana-mana, copet pun beraksi di tiap kerumunan….


Rute pertama pagi itu adalah berfoto di salah satu icon kota Paris yaitu Arc de Triomphe. Gerbang kemenangan ini dibuat tahun 1806-1836 untuk memperingati para pahlawan yang berjuang di Perang Napoleon. Cuaca Paris saat itu kurang bersahabat. Angin dingin bertiup sangat kencang. Terasa seperti ribuan jarum dingin yang menusuk wajah. Rasanya di sinilah foto kami terjelek selama di Eropa. Rambut beterbangan kemana-mana…menutupi mata, masuk mulut, atau membentuk gaya mohawk dengan sendirinya. Gayanya juga kurang keren karena menahan dingin.

paris1


Tidak jauh dari Arc De Triomphe adalah Place De La Concorde, alun-alun kota yang terdapat air mancur dan Obelisk, monument batu yang tinggi menjulang pemberian Pharaoh, asli dari Mesir. Gak kebayang gimana bawa batu segitu berat di abad 19. Konon Obelisk ini menjadi inspirasi mantan Presiden Soekarno untuk membuat Monas.

Paris3


Selanjutnya kami melewati Notre Dame Cathedral. Gereja yang selesai dibangun tahun 1315 ini, terkenal dengan gargoyles-nya. Kalau nonton film the Hunchback of Notre Dame-nya Disney, nah patung-patung mahluk aneh yang bisa bicara itulah yang disebut gargoyles. Fungsi patung itu sebenernya sebagai talang air. Letak patung yang menjorok keluar membuat air dari atap tidak merembes di dinding, sehingga mengurangi kemungkinan dinding tergerus air.Paris2

Bangunan terkenal lainnya adalah Invalides. Bangunan megah ini semula peruntukannya untuk rumah sakit prajurit perang sekaligus tempat penampungan pensiunan pejuang perang. Saya baru tahu fakta ini belakangan setelah pulang ke Indonesia. Yang saya tahu saat itu bangunan ini adalah salah satu museum yang besar.

Paris4

Pastilah menara Eiffel wajib dikunjungi. Untungnya ikut group tour saat high seasons seperti ini adalah kita tidak perlu capek ngantri. Melihat bejibunnya turis berbagai bangsa yang ngantri naik ke menara Eiffel, maka kami merasa beruntung bisa melewati antrian ini.

Paris5Seperti di Italia, saat di Paris ini ada tour guide asli Perancis yang bisa sedikit-sedikit Bahasa Indonesia. Saat memandu kami naik ke menara, ia berulang kali mengingatkan, awas copet. Bahkan di lift menara pun ada plang peringatan, Awas Copet. Tentunya dalam Bahasa Perancis dan Inggris. Jadi saat mengagumi kota Paris dari ketinggian menara Eiffel, saya mendekap erat-erat tas di dada. Apalagi di liburan akhir tahun begini, turis dan copet yang pura-pura jadi turis berdesak-desakan ingin melihat pemandangan. Sungguh terasa tidak nyaman.

Saya tidak perlu mencantumkan gambar menara Eiffel lah ya. Karena sudah pasti pada tahu semua. Yang jelas Eiffel adalah bangunan pertama di Eropa yang menggunakan banyak konstruksi besi dan sedikit semen. Diprotes oleh warga Paris saat mulai didirikan. Sekarang menjadi icon terkenal kota Paris.

Setelah makan siang, kami digiring ke Louvre, musium terbesar dan lumayan lengkap koleksinya. Sayangnya tour ini tidak mencakup kunjungan ke dalam musium. Padahal saya ingin sekali. Memang antrian turis yang ingin masuk ke dalam musium sangaaat panjang. Tapi tidak menyurutkan keingan saya bahwa suatu saat nanti saya akan kembali ke Paris untuk berkunjung ke Louvre. Tour hanya mengarahkan kami untuk foto-foto di halaman musium yang mudah dikenali dengan piramida kacanya.

Paris6

Dari sejumlah bangunan bersejarah di Paris yang menarik, Jalan Elis atau Champs Elysees tetap mempunyai daya tarik tersendiri. Deretan butik dari merk ternama ada di jalan ini. Tapi karena bukan fashionista, yang menarik dari jalan ini buat saya adalah pasar kaget natal atau Christmas market. Semula kami tidak dijadwalkan mampir ke Christmas market. Tapi stand jualan yang meriah dengan dekorasi natal sangat menarik perhatian kami. Tour leader akhirnya menyerah juga setelah seluruh peserta tour minta turun di sini.

Karena banyaknya imigran di Paris, maka jualan di Christmas market sangat beragam. Ada Churros, boneka Matrushka, knick-knack Afrika, dan banyak lagi. Jualannya memang tidak berhubungan dengan natal. Tapi pohon-pohon kering di sepanjang jalan dihiasi lampu natal yang cantik.

Sebelum makan malam, kami sempat dibawa ke suatu toko, dipaksa untuk belanja lagi. Manager toko itu adalah orang Indonesia yang lama tinggal di Paris. Sambil menenteng satu tas Long Champ, dia menjelaskan dengan nyinyir,”Ibu-ibu Indonesia baru kenal dengan brand ini padahal brand ini sudah lama terkenal di Paris. Menyebutnya salah long chem. Harusnya long syong.”

Males banget denger penjelasannya. Gayanya yang merendahkan calon pembelinya membuat satu persatu anggota grup kami melipir keluar toko. Sampai tour leader keheranan, kok cepat sekali belanjanya.

Makan malam kali ini agak istimewa. Bosan dengan Chinese food yang disodorkan travel agency, kali ini kami diajak menikmati makanan khas Perancis, yaitu escargot. Ini lah pertama kami makan bekicot. Kenyal-kenyal buttery campur garlic rasanya.

Setelah sampai hotel, barulah nampak ternyata escargot adalah makanan yang harus dihindari si Bungsu. Reaksi alerginya muncul, sama seperti saat dia makan kepiting. Untunglah persediaan obat alergi cukup membantu mengurangi reaksi. Benar-benar cara yang pas mengakhiri perjalanan di Paris yang sama sekali tidak terasa romantis.

Author: javanicblue

https://javanicblue.wordpress.com/about/

3 thoughts on “Paris, benarkah romantis ?”

  1. (Maaf commentnya keburu kekirim, padahal belum selesai ketik)

    Memang ngga romantis kalo ke Paris dengan tour, terburu buru banget. Saya juga dulu gitu waktu ke Eropa, diajak perginya kadang kadang kurang seru deh tempatnya. Saya ada rencana liburan ke Eropa beberapa bulan lagi. Kali ini tanpa tour, berhubung teknologi sekarang udah canggih dan wifi gampang di mana mana–ada GPS! (plus saya udah sempet ambil kelas bahasa Perancis di kampus, sedikit membantu lah) haha. Mudah mudahan mbak dan keluarga bisa balik lagi ke Eropa dan lebih menikmati keindahan tanpa digiring ke sana sini (yang mana mbaknya juga mgkn sebenernya nggak mau ke sana!). Postingan mbak semuanya lumayan seru dan detail isinya, looking forward for more contents! Salam!

    Like

Leave a comment