Kami berangkat menjelang new year’s eve, naik Garuda. Pesawat agak kosong. Mungkin karena orang lebih memilih berada di darat saat pergantian tahun. Pramugari menyapa kami dengan selamat tahun baru dan membagikan topi kerucut pesta dan sempritan yang memanjang bila ditiup. Sesaat kami merasa seperti memasuki area pesta tahun baru.
Kemeriahan itu semakin terasa saat tua dan muda mulai meniup sempritan sambil menunggu pesawat take off. Kami masih menunggu pihak maskapai akan memberikan kejutan lain saat pesawat sudah terbang sempurna. Tunggu punya tunggu …. ternyata gak ada. Penumpang kecewa. Tepatnya anak kami, si Sulung kecewa. Dia merasa sepi dan mulai membandingkan dengan situasi lain. Harusnya kalau masih di jakarta dia sudah pesta barbeque-an dan menyalakan kembang api nih dengan teman-temannya. Terpaksa setelah memakan habis snack malam dan menonton 1 film, kami memaksakan diri tidur. Sepi.
Narita di Tahun Baru
Tiba di bandara Narita Tokyo, sudah memasuki tahun 2014. Bandara agak sedikit sepi. Saya bandingkan saat tugas kantor untuk meeting regional di hari kerja, Narita terlihat jauh lebih sibuk. Kali ini antrian imigrasi tidak terlalu panjang mengular. Namun petugas di balik loket tetap banyak dan bekerja sama cepat dan efisien. Bedanya adalah petugas lapangan. Biasanya ada petugas imigrasi di tengah-tengah antrian yang sudah cukup uzur membantu turis asing untuk mengisi kartu imigrasi dan mengarahkan antrian. Meski sudah tua mereka tetap tegas tapi ramah. Nah kali ini si oma opa itu tidak ada. Mungkin sedang liburan dengan cucu.
Lewat imigrasi, kami sempatkan mampir ke toilet dan segera mengambil bagasi. Kami tidak menunggu bagasi tapi bagasi menunggu kami. Kami kalah cepat rupanya. Entah sudah berapa putaran koper kami menunggu dengan manisnya di rel berputar.
Lokasi Narita cukup jauh dari Tokyo.Kalau gak macet bisa 1 jam 30 menit ke tengah kota Tokyo. Oh ya benar, Tokyo bisa macet juga. Bisa 2 jam-an kalau macet. (Update: sekarang sudah ada penerbangan direct ke bandara Haneda yang lebih dekat ke Tokyo, hanya 40 menit).
Limousine Bus
Perjalanan ke kota bisa ditempuh dengan 2 cara. Naik kereta atau Limousine Bus. Kami memilih naik Limousine Bus, sejenis Damri tapi jauh lebih keren dan bersih. Karena harus menyeret 2 koper besar dan 1 koper sedang, maka akan menjadi kurang praktis kalau kami naik kereta dan harus pindah ke beberapa stasiun untuk sampai hotel. Sebagai alternatif, naik kereta lebih murah, hanya 1000an yen. Bandingkan dengan naik bis yang 3000 yen.
Loket penjualan tiket Limousine Bus ada beberapa di dalam airport dekat pintu keluar. Si mbak penjual tiket bisa berbahasa inggris, tapi aksennya membuat kita sulit mengerti. Sebaliknya aksen kita dalam menyebut nama bahasa Jepang juga akan sulit mereka mengerti. Jadi sebaiknya sudah siap print out nama dan alamat hotel kita. Tunjukkan alamat itu ke si mbak, nanti dia akan kasih tau kita naik bus nomer berapa, jam berapa berangkatnya, dan turun di stopan ke berapa. Untuk kasus saya, meski hotel saya mendapat award dari Trip Advisor 2 tahun berturut-turut, gak jaminan si mbak langsung tau mana line yang terdekat. Jadi untuk amannya browsing dulu di sini untuk tau bis nomer brp dan stopnya di halte mana.
Bisnya datang tepat waktu, gak ada ngaret semenit pun. Jadi jangan kelamaan ngider di bandara atau mojok di toilet setelah beli tiket. Suami yang punctual freak, sudah menggiring kami ke pintu keluar 15 menit sebelum bis datang. Lalu segera pake jaket tebal (lumayan 8 derajat C saat itu) untuk segera mengantri di line bis kami.
Di halte sudah ada mas-mas petugas yang akan memberi koper kita tag nomor dan memberikan ke kita potongan bukti nomor untuk nanti ngambil kopor saat turun. Dia akan tanya kita turun di halte mana. Pastikan anda ingat info si mbak tiket dimana anda harus turun. Tag koper setiap halte akan beda warnanya. Misal halte pertama tagnya biru, halte kedua pink, dst. Jadi koper yang turun di halte terakhir akan dimasukin duluan. Hal simpel tapi membuat kerja mereka efisien. Setelah bis datang, kita langsung naik gak usah mikirin koper. Cukup liat dari jendela bis si mas naikin koper kita ke bagasi bis. Setelah semuanya naik, si mas-mas itu akan membungkuk hormat saat bis kita jalan. Inilah kesopanan orang Jepang dan cerminan mereka menghargai customernya.
Karena kurang tidur di pesawat, saya justru tidur pulas di bis. Pemandangan di jalan tolnya juga kurang bagus, gak rugi untuk dilewatkan. Surprisingly jalanan sangat lancar karena kosong. Saya seperti berkunjung ke Tokyo yang berbeda. Beberapa kali ke Tokyo selalu kena macet. Kali ini jadi terheran-heran kemana perginya mobil-mobil itu. Ternyata tahun baru di Tokyo seperti Lebaran di Jakarta. Orang pada pulang kampung. Makanya gak heran kantor tutup. Toko banyak yang tutup. Akibatnya jalanan sepi.
Biasanya halte bus limusin ini adalah hotel-hotel besar. Saat saya diinapkan kantor di Hotel Excell Tokyu di Shibuya, bisnya berhenti persis depan hotel. Liburan keluarga ini, kami menginap di hotel yang lebih “petit” di daerah Shinjuku. Halte di Shinjuku bukan hotel tapi di perempatan jalan. Dari sana kami naik taxi ke hotel. Taxi di Tokyo kayaknya yang paling mahal sedunia. Argo pertama aja udah 710 Yen untuk 2 km pertama. Untungnya hotel kita gak jauh, jadi Sebelum Argonya ganti angka, kita udah sampai. Selama di Tokyo kami naik taxi hanya dari dari stopan Limousine bus ke hotel dan sebaliknya.
Oh ya kalau rencana pulangnya mau naik Limousine bus juga untuk ke airport, sebaiknya tiketnya langsung dibeli beberapa hari sebelumnya di halte. Karena kalau terlalu mepet takutnya gak dapat tiket dengan jam yang sesuai dengan tiket pesawat. Loket penjualan tiketnya gak jauh kok dari halte. Atau kalau kita turun langsung di sebuah hotel, biasanya di hotel itu juga ada loket penjualan tiketnya.