Iri dengan Kuala Lumpur

Dari dulu saya tidak mau kalau diajak ke Malaysia kalau pakai uang sendiri. Pernah mampir ke Johor Baru beberapa jam saja karena ingin nyobain naik bis dari Singapur. Selanjutnya saya bertekad ke Malaysia lagi kalau ditugaskan oleh kantor saja, biar dibayarin. Tapi sampai saya resign, tidak pernah ada regional meeting di Ibukota Malaysia, Kuala Lumpur. Keengganan saya berkunjung ke KL didasari hal yang sama dengan keengganan saya berkunjung ke Bangkok. Buat apa sih berkunjung ke kota yang mirip-mirip dengan Jakarta?

Every city has its own charm. Kutipan itu yang akhirnya menjadi alasan saya ke KL pada 31 Januari 2017 … untuk pertama kalinya setelah setua ini. Alasan kedua karena ditawari tiket pesawat promo ke KL, dan kami belum ada rencana kemana-mana di tahun  baru, ya sudahlah kami ambil saja.

KL_CityView.jpg
Kuala Lumpur dari ketinggian Petronas Twin Tower

Sampai di Kuala Lumpur, mau tidak mau saya membandingkan Ibukota Malaysia ini dengan Ibukota kita tercintah Jakarta. Perbandingannya hanya scope kecil, karena saya hanya berada di seputaran Bukit Bintang saja. Kalau dibandingkan mungkin setara di segitiga bisnis Sudirman, Kuningan dan Thamrin. Inilah hasil observasi dari kenorakan saya di KL.

Bandara/Airport

Tiba di Kuala Lumpur International Airport (KLIA), saya bersyukur Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno Hatta sudah jadi dengan mentereng di akhir 2016. Kalau tidak, bandara kita kalah gonjreng dengan Malaysia. Iya sih kita kalah cepat pembangunannya, karena Bandara KLIA diresmikan tahun 1998. Kereta Ekspress yang menghubungkan Bandara yang berada di pinggir kota menuju tengah kota juga sudah ada di Malaysia sejak tahun 2002. Meski masih berbangga diri kita punya kereta bandara yang sama, miris juga hati ini. Kita kok baru menyamai setelah lebih dari 15 tahun ya … hiks.

KL_Bandara
KL Int’l Airport vs Bandara Soekarno Hatta

Sama seperti di Jakarta, kendala naik kereta bandara di KLIA adalah mahalnya harga tiket. Kalau kita bepergian sendiri maka tiket kereta senilai RM 50/orang sangat menguntungkan. Tapi kalau keluarga 4 orang begini, maka taxi tetap menjadi pilihan utama. Dengan naik taxi online, kita cukup merogoh kantong sekitar RM 110 sudah termasuk bayar tol.

Penggunaan Bahasa Inggris

Entah mengapa saya selalu berbahasa Inggris di Malaysia. Padahal menghadapi wajah-wajah melayu biasanya otomatis saya berbahasa Indonesia. Mungkin karena banyaknya ras India dan China di KL, mengingatkan saya dengan Singapura. Mungkin juga saat saya bertanya atau berbicara dalam bahasa Inggris, hampir semua pekerja lini bawah seperti supir taxi, doorman hotel, kasir mini market, hingga petugas cleaning service, mereka bisa menjawab dalam bahasa Inggris.

Sebenarnya hal ini tidak mengherankan. Sebagai bekas jajahan Inggris selama 3 abad, Malaysia menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Loh … Indonesia dijajah Belanda lama, kok tidak menjadikan Bahasa Belanda sebagai bahasa kedua? Silakan belajar sejarah dan budaya dulu untuk membahas ini. Bisa panjang nanti tulisan ini 🙂

Penggunaan bahasa Inggris yang cukup luas di Malaysia tentunya menguntungkan dari sisi pariwisata. Turis merasa lebih welcome di Malaysia. Namun demikian Indonesia tetap harus bersyukur. Bahasa Indonesia berhasil menjadi bahasa persatuan di Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke, generasi mudanya bisa berbahasa Indonesia. Tidak demikian dengan Malaysia. Kolega kentor saya yang dari Malaysia keturunan China, sangat lancar berbahasa Inggris tapi tidak bisa berbahasa Melayu. Bisa sih ngerti kalau mendengar Bahasa Melayu yang diucapkan tidak terlalu cepat, tapi kesulitan untuk menjawab dalam bahasa tersebut.

Malam Tahun Baru dan Sisa-sisa Hari Natal

Hotel saya berada dekat Bukit Bintang, pusat wisata dan belanja di KL. Malam tahun baru di pusat kota meriah sekali. Berjalan keluar Hotel menjelang detik-detik pergantian tahun, banyak orang berjalan setengah berlari menuju Petronas Twin Tower. Seperti ada kerusuhan saja. Namun melihat mereka berlari sambil tertawa, bahkan yang wanita memakai bando yang ada lampunya di atas kerudungnya, maka kami yakin orang-orang itu sedang mencari tempat yang terbuka untuk melihat kembang api. Kami pun segera mengikuti mereka.

Tepat jam 12 malam, letusan kembang api yang indah warna-warni menghiasi langit KL. Sekitar 10 menit tanpa henti kembang api melesat bergantian diiringi seruan “wow” para penonton. Langit Jakarta saat tahun baru, setahu saya juga dihiasi dengan letusan kembang api. Jadi sama lah ya.

Yang berbeda adalah hiasan natal di mall. Kalau di Jakarta hiasan natal sudah lebih banyak “disamarkan” menjadi bentuk kado, rusa, lampu warna-warni, atau winter holiday, di KL suasana Natal sangat jelas. Depan Suria KLCC, salah satu shopping mall pertama yang megah di KL, menjulang tinggi pohon natal. Iya pohon natal dengan bintang di atasnya. Lalu di dalam mall lain ada jejeran pohon natal di salah satu lobinya. Hiasan cantik ini menjadi objek foto oleh orang Malaysia tua-muda, berjilbab ataupun tidak. Suasana Natal yang akrab ini membuat saya semakin ingin mengenal Malaysia.

KL_XmasTree

Banyak Turis

Saat sarapan di hotel, banyak sekali turis Bule, Timur Tengah dan Asia memenuhi meja-meja sarapan. Mereka umumnya disertai dengan anak dan istri. Liburan keluarga lah ceritanya. Saya tidak yakin apakah di Jakarta juga banyak yang datang untuk liburan keluarga? Setahu saya kebanyakan untuk keperluan bisnis.

Para turis ini juga banyak keleleran di mall, di pasar-pasar modern, dan berjalan kaki santai di trotoar kota. Mereka merasa aman dan nyaman membawa keluarganya berlibur di KL (walaupun terus terang, tidak banyak yang bisa dilihat, dibanding kalau liburan ke Jakarta). Sepertinya perasaan “aman” adalah yang terpenting. Bisa berjalan santai bersama keluarga, tanpa dihantui oleh demo anu, demo itu atau demo angka yang berjilid-jilid.

Jalan protokol dan trotoar yang rapi

Dari jendela kamar hotel, saya melihat dimulainya aktivitas kota KL dengan kemacetan. Tidak separah di Jakarta sih. Dibandingkan Bangkok pun, Kuala Lumpur masih relative teratur. Motor ada, tapi tidak banyak seperti tawon merubung di lampu merah. Yang jelas sih tidak ada ojek online. Kata menteri Perhubungan Malaysia, ojek online membuat suatu kota nampak terbelakang. Siaul loh, nyindir Jakarta banget. Gak tau apa bentar lagi becak juga dilegalkan di Jakarta? (tepok jidat, nyengir miris dengan keadaan Ibukota sendiri)

Saat Jakarta tercinta sedang ramai pro dan kontra atas ditutupnya kawasan Brother Land yang katanya demi untuk pedagang kecil dan pejalan kaki, Malaysia sudah punya solusi jitu yang memanjakan pejalan kaki.

Namanya KLCC Pedestrian Walkway. Tempat khusus yang dibangun untuk pejalan kaki dengan bentuk lorong panjang sejauh 1 km lebih dikit dan letaknya di atas melewati jalan raya. Jarak tempuh dengan berjalan kaki di pedestrian ini jadi lebih singkat dibanding bila kita naik mobil yang harus berkelok-kelok dan terkena macet. Lorong pejalan kaki ini menghubungkan area Kuala Lumpur City Center (KLCC) dan Bukit Bintang, yang merupakan daerah pertokoan, hotel dan perkantoran yang ramai oleh hilir mudik manusia. Para pejalan kaki melewati lorong ini dengan nyaman karena terlindung dari hujan (karena ruangan tertutup) dan panas (dilengkapi AC). Tersedia escalator dan lift untuk naik ke area ini, sangat membantu para disabilitas dan yang membawa kereta bayi.

KL_Pedestrian

Namanya juga Pedestrian Walkway …ya memang tempat yang dikhususkan buat pejalan kaki. Tidak ada tuh alasan demi melindungi pedagang kecil, mereka boleh menggelar dagangannya di area ini. Ada CCTV dan polisi yang mengawasi setiap sudut area ini. Selain nyaman, kami juga merasa aman. Apalagi saat malam hari tempat ini juga terang benderang.

Tempat Belanja Seni yang Terorganisir

Lalu dimanakah para pedagang kecil berjualan? Apakah PemKot Kuala Lumpur kurang keberpihakan? Hhmm… jangan salah. Para pedagang kecil disediakan tempat khusus berjualan di pasar-pasar modern yang tertata rapi, bersih dan berAC. Tempat berjualan pedagang kaki lima ini juga dipromosikan sebagai tempat wisata. Bahkan jalur bus Hop on Hop Off menjadikan tempat-tempat pedagang kecil ini sebagai stop area dengan promosi “area yang layak dikunjungi” karena nilai historisnya, harga murah dan unik.

Saya menyempatkan mampir ke gedung tempat pedagang seni dan kerajinan. Meskipun terkikik geli melihat batik Malaysia, tapi patut diacungi jempol cara mereka menata para pedagang. Sangat rapi dan teratur. Pedagang dan pengunjung tidak berjubel. Hallwaynya cukup lebar untuk orang berlalu lalang sambil melihat barang dagangan.

Namun demikian, kalau untuk urusan seni dan budaya, memang Indonesia jauuuuh lebih kaya. Barang dagangan di pasar seni KL banyak mencomot budaya seni negara tetangganya. Patung-patung dan kerajinan kayu dari Jawa, Bali dan Papua ada di sini. Mungkin batik Indonesia yang cantik juga ada, tapi saya belum eksplor ke semua lantai. Bahkan motif gajahnya Thailand pun dijual juga dalam bentuk patung, kerajinan tangan dan baju. Pasar ini lebih cocok disebut Pasar Seni Budaya Tetangga daripada Pasar Seni Malaysia.

Landmak Kota

Kalau membandingkan landmark kota, sebaiknya membandingkan Petronas Twin Tower (88 lantai) dengan Monas atau dengan Cemindo Tower (66 lantai), gedung tertinggi saat ini di Jakarta? Cemindo Tower masih kalah tinggi 90 meter dengan Petronas. Lagipula kalau dilihat keunikannya Petronas dengan menara kembarnya terlihat unik dibandingkan dengan menara tunggal saja.

KL_Tower
Ki-ka: Cemindo Tower, Petronas Twin Tower, Monas

Kalau begitu Petronas kita bandingkan dengan Monas sebagai landmark. Memang bila dilihat dari ketinggiannya, Monas yang tingginya hanya setengahnya Cemindo Tower akan kalah. Monas sebagai landmark jangan dilihat dari ketinggiangnya, tapi bisa dilihat dari sisi nilai historisnya. Atau dari fungsinya yang bisa berubah-ubah, sebagai monumen sekaligus sebagai tempat ibadah massal, bila diperlukan. Bisa juga sebagai tempat berkumpulnya pedagang kecil. Nanti katanya fungsinya juga akan diubah sebagai taman besar kota seperti Central Park New York. Hebat bukan landmark Jakarta? Bisa Multifungsi!

Benchmark ke KL, perlukah?

Sebelum berkunjung ke Kuala Lumpur, mungkin saya akan menjawab pertanyaan itu dengan mencibir. Tapi setelah melihat dengan mata kepala sendiri perkembangan Kuala Lumpur yang sangat masif, saya khawatir kalau Jakarta tidak melirik ke Malaysia maka Jakarta akan tertinggal. Ibaratnya lomba lari, sesekali perlu melirik lawan kita ada dimana. Jangan sampai asik sendiri dengan berbagai teknik dan aturan yang gak perlu, tau-tau lawan yang kita abaikan ternyata sudah jauh melesat di depan …

Author: javanicblue

https://javanicblue.wordpress.com/about/

9 thoughts on “Iri dengan Kuala Lumpur”

  1. Mungkin keheranan nya mirip yang saya rasakan waktu pertama kali ke Kuala Lumpur tahun 2011. Lama lama biasa. Tapi ada yang tak biasa di Jakarta, makanan India halal di KL ada dimana-mana. Sebenarnya Indonesia mampu, karena potensi dan kekhasan daerahnya jauh lebih besar daripada Malaysia.

    Liked by 1 person

    1. Budaya India sudah sangat membaur di Indonesia. Bisa dilihat kisah Ramayana, Mahabrata yang menjelma jadi kisah wayang di P. Jawa. Makanan kari India sudah mendapat pengaruh lokal, salah satunya menjadi rendang. Itulah uniknya Indonesia.

      Liked by 1 person

  2. Bangunan fenomenal KLIA , menara Petronas, menara KL itu semua dibangun sebelum tahun 2000 di era Mahathir Mohammad. Orangnya memang visioner sampai mencanangkan Malaysia menjadi negara maju tahun 2020 (2 tahun lagi). Pembangunan infrastruktur yang dahsyat waktu itu membuat hutang Malaysia 54% thd GDP. Negara lain yang hutangnya diatas 100% misalnya Singapura & Jepang. Indonesia juga ke arah situ tampaknya. Jika di era SBY hutang 27% thd GDP kini setelah pembangunan jalan tol bandara dll naik jadi 30% thd GDP (4000 Trilyun Rupiah). Kata pemerintah masih aman sampai 60% thd GDP. Semoga saja bukan jadi santapan koruptor dan pembangunan benar benar mampu mengangkat ekonomi masyarakat Indonesia yang masih dibawah negara2 tersebut. Maka perlu kita awasi.

    Liked by 1 person

  3. Di KL yang anehnya walaupun rame tapi gak bikin stress. Mereka rame tapi rapi, bersih, dan nyaman. Apa-apa disana jelas dan gak bikin bingung, semua udah terkoneksi satu sama lain. Dan kayaknya orang disana juga lebih open minded dan lebih mudah diatur.. kayaknya KL ini kiblatnya ke Singapore atau Tokyo deh.. Semoga Jakarta bisa segera menyusul, kalo bisa melampaui..

    Like

    1. Menurut saya Jakarta tidak ketinggalan jauh dengan KL. Perlu pemimpin kota yang tidak hanya mempunyai visi tapi juga mampu bekerja dengan benar, tanpa memboroskan biaya

      Like

  4. Saya sudah ke Kota Jakarta…sangat pusing ini kota, bas buruk buruk, jalan raya, sempit, org rame…boleh bikin gila ini kota, macet cukup sialan MRT gaada

    Like

    1. Saya berpikir 2x utk merelease comment negatif anda. Tapi setelah kemeriahan dan kemegahan Asian Games beberapa waktu lalu, saya tidak khawatir dengan comment ini. Jakarta sekarang luar biasa. Dengan bangga saya bisa komentar, “Saya orang Jakarta, Saya Indonesia!”

      Like

Leave a comment